Nasional

Kritik Pedas Anji soal Royalti Musik: Perhitungan LMK Dinilai Tak Adil

POPNEWS.ID – Polemik mengenai pengelolaan royalti musik di Indonesia kembali memanas. Musisi Anji Manji kembali melontarkan kritiknya, menyatakan bahwa sistem yang ada saat ini masih belum berpihak pada pencipta lagu. Melalui akun Instagram pribadinya, Anji menyoroti cara Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) menentukan perhitungan pembayaran royalti yang dianggapnya tidak relevan.




“LMK membuat aturan membayar royalti dengan perhitungan jumlah ruangan, per kursi, dan semacamnya. Bukan berdasarkan penggunaan lagu,” tulis Anji.


Ia juga mempertanyakan bagaimana LMK dapat mendistribusikan royalti secara adil kepada pencipta lagu jika mereka tidak mengetahui lagu apa saja yang diputar. “Apakah LMK tahu lagu apa saja yang diputar?” imbuhnya.


Anji juga mempertanyakan keadilan sistem tersebut untuk lagu-lagu yang tidak secara spesifik digunakan di suatu tempat usaha.

“Apakah akan adil sesuai penggunaannya? Kalau suara burung atau ambience (sering di RS, salon, spa), royaltinya dibayarkan ke siapa?” ujarnya.

Penyanyi lagu “Dia” ini menutup pernyataannya dengan tegas, bahwa semakin besar perbincangan publik mengenai isu royalti, akan semakin terbuka pula siapa pihak yang menjadi sumber masalah dalam tata kelola industri musik Tanah Air.

“Semakin besar isu ini, akan jelas apa/siapa sumber masalah dalam persoalan tata kelola industri musik Indonesia,” kata Anji.

Unggahan Anji ini muncul di tengah sengitnya polemik royalti lagu di ruang-ruang usaha, seperti kafe, restoran, hotel, pusat perbelanjaan, hingga kedai kopi. Sebelumnya, pengelolaan performing rights juga menjadi perdebatan, yaitu hak yang memastikan pencipta dan pemegang hak cipta mendapatkan royalti atas penggunaan karya mereka di ruang publik, misalnya konser atau festival musik.

Polemik ini kian memanas setelah muncul kasus hukum terbaru yang melibatkan manajemen salah satu gerai Mie Gacoan di Bali. Pada 24 Juni 2025, Polda Bali menetapkan IAS, Direktur PT Mitra Bali Sukses (Mie Gacoan), sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran tindak pidana hak cipta. IAS dituding sengaja dan tanpa hak melakukan penyediaan fonogram yang dapat diakses publik untuk penggunaan secara komersial. Kasus ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, karena mereka tidak ingin mengalami nasib serupa.

Royalti musik di ruang usaha mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Mekanisme pengumpulan dan distribusi royalti dilaksanakan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan sejumlah LMK sektoral seperti WAMI, KCI, RAI, dan lainnya.

Besaran royalti bervariasi tergantung jenis usaha serta jumlah kursi atau luas ruangan. Untuk restoran dan kafe, tarif umumnya adalah Rp 60.000 per kursi per tahun. Namun, bagi usaha besar seperti waralaba atau merek ternama, tarif bisa dua kali lipat, yaitu Rp 120.000 per kursi per tahun.

Meski ada aturan yang jelas, implementasinya di lapangan tidaklah sederhana. Banyak pelaku usaha mengaku belum mendapatkan sosialisasi yang memadai, tidak tahu bagaimana cara membayar, lagu apa saja yang wajib royalti, bahkan bingung apakah lagu yang diputar dari platform seperti YouTube dan Spotify juga termasuk dalam kategori wajib royalti.

(Redaksi)

Show More
Back to top button