
POPNEWS.ID – Fakta baru kembali mengemuka dalam sidang lanjutan kasus penembakan di Tempat Hiburan Malam (THM) Crown Samarinda yang menewaskan Dedy Indrajid Putra (DIP).
Penyelidikan mengungkap bahwa salah satu jalur masuknya senjata api ke tangan para pelaku berasal dari seorang oknum Brimob berinisial D yang tergelincir akibat tekanan ekonomi.
Dalam sidang tersebut, majelis hakim membacakan hasil pemeriksaan barang bukti dan keterangan saksi yang menyebut bahwa pelaku eksekutor mendapatkan senjata api dari tangan seorang anggota Brimob berinisial D, yang berdinas di Samarinda Seberang.
Namun, menariknya, anggota Brimob yang disebut-sebut sebagai pemilik senjata itu tidak hadir dalam persidangan, sehingga menimbulkan pertanyaan publik tentang perannya dalam rantai peredaran senjata tersebut.
Kronologi Jejak Senjata D
Menanggapi fakta sidang tersebut, Kepolisian Resor Kota Samarinda langsung memberikan keterangan resmi. Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar, membenarkan bahwa senjata yang digunakan oleh pelaku memang berasal dari tangan oknum Brimob.
“Memang benar, pelaku eksekutor mendapatkan senjata api dari seorang oknum anggota Brimob berinisial D. Yang bersangkutan sudah dijatuhi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Banding yang diajukan juga sudah diputus, dan hasilnya menguatkan sanksi etik yang sudah dijatuhkan,” ujar Hendri dalam konferensi pers, Kamis (13/11/2025).
Hendri menegaskan bahwa tindakan D masuk kategori pelanggaran berat dan termasuk tindak pidana karena terlibat dalam jual-beli senjata api ilegal.
“Dia diberhentikan secara tidak hormat karena menjual senjata api kepada pihak yang tidak berwenang,” tegasnya.
Menurut polisi, senjata tersebut kemudian berpindah tangan beberapa kali sebelum akhirnya sampai ke pelaku eksekutor yang menembakkan peluru ke tubuh korban pada insiden 4 Mei 2025.
Penelusuran memastikan bahwa senjata itu bukan bagian dari gudang resmi Polri maupun TNI, melainkan hasil transaksi pribadi di luar jalur legal.
Kapolresta kemudian merinci asal-usul senjata api tersebut. Menurutnya, D memperoleh senjata itu pada tahun 2018 ketika berdinas di Jakarta dalam kondisi tidak layak pakai. Senjata itu kemudian ia beli secara pribadi.
Namun pada 2022, karena tekanan ekonomi, D memutuskan menjual senjata tersebut kepada salah satu tersangka dari total sembilan terdakwa dalam kasus penembakan di Crown.
“Pada tahun 2022, karena kondisi ekonomi D sulit, akhirnya senjata itu dijual ke salah satu tersangka,” jelas Hendri.
Selama penyelidikan, polisi menemukan bahwa senjata tersebut tidak langsung digunakan oleh pembunuh eksekutor. Senjata itu sempat berpindah dari satu tersangka ke tersangka lainnya.
“Dari R, senjata diserahkan kepada Ijul. Ijul kemudian menggunakannya untuk menembak korban Dedy Indrajid Putra di Crown,” ungkap Hendri.
Kepolisian juga memastikan bahwa senjata api tersebut bukan berasal dari gudang senjata resmi Polri ataupun TNI.
“Itu semua hasil transaksi pribadi. Kami pastikan bukan senjata organik institusi,” tegasnya.
Pernyataan tersebut sekaligus menjawab keresahan masyarakat yang mempertanyakan bagaimana senjata negara bisa jatuh ke tangan sipil.
Pengawasan Senjata Aparat Jadi Sorotan
Pengamat hukum pidana Universitas Mulawarman, Dr. Andry Saputra, menilai kasus ini menyingkap celah serius dalam sistem pengawasan internal Polri.
“Ketika alat kekuasaan negara seperti senjata api bisa berpindah tangan ke sipil, itu menandakan adanya celah serius dalam sistem pengawasan. Reformasi internal di tubuh Polri menjadi keharusan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam proses hukum terhadap oknum aparat yang terlibat.
“Penegakan hukum harus setara. Jangan sampai kasus ini berhenti di level pelaku sipil, sementara jaringan yang memungkinkan jual-beli senjata justru luput dari jerat hukum,” tegas Andry.
Tragedi Crown, Gambaran Rapuhnya Integritas Aparat
Tragedi di Crown menjadi peringatan keras bagi institusi keamanan negara. Ketika senjata api yang seharusnya melindungi masyarakat justru digunakan untuk menghilangkan nyawa warga sipil, batas antara penegak hukum dan pelaku kejahatan menjadi kabur.
Kasus ini kini menjadi ujian besar bagi aparat penegak hukum untuk memastikan tidak ada lagi penyimpangan serupa di masa depan. Karena di balik suara tembakan yang merenggut satu nyawa di Samarinda, tersimpan pesan mendalam tentang tanggung jawab, integritas, dan kepercayaan publik yang harus dijaga.
(Redaksi)