Menurutnya, dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Samarinda Nomor 7 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Samarinda 2023-2042, telah ditetapkan larangan aktivitas tambang di beberapa wilayah mulai tahun 2026.
“Kalau tidak bisa menegakkan aturan, buang saja dokumen RTRW-nya ke sungai,” tegas Anhar dengan nada kecewa.
Sebagai wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Palaran, Anhar menilai aktivitas tambang selama ini telah menghambat pembangunan kawasan industri yang seharusnya menjadi prioritas di wilayah pinggiran.
Selain itu, Anhar juga menyoroti lemahnya pengawasan dari Inspektur Tambang dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim yang dinilai kurang tegas dalam menghentikan aktivitas tambang yang merusak lingkungan.
“Ini permasalahan kerusakan lahan hingga banjir yang terjadi di mana-mana. Kerusakan lingkungan tentu akan berdampak pada investasi yang akan berjalan ke depannya,” pungkasnya.
DPRD Samarinda mendesak agar pemerintah dan perusahaan tambang bertanggung jawab penuh atas dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Tindakan konkret berupa reklamasi lahan dan penghentian aktivitas tambang ilegal diharapkan bisa segera dilakukan demi menjaga keseimbangan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Apabila aktivitas tambang yang merusak lingkungan terus dibiarkan, bukan hanya warga Palaran yang akan menderita, tetapi juga seluruh warga Samarinda yang terdampak secara langsung oleh kerusakan ekosistem dan potensi bencana alam di masa depan. (adv)