POPNEWS.ID - Persoalan pertambangan, khususnya batubara, di Samarinda dan Kalimantan Timur (Kaltim) seolah tak pernah habis. Eksploitasi sumber daya alam (SDA) ini kemudian membuat Kaltim dirundung pelbagai persoalan berkepanjangan. Termasuk di dalamnya persoalan tambang ilegal atau illegal mining.
Persoalan tersebut menjadi tema diskusi virtual para praktisi dan mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Sabtu 11/12/2021, siang tadi. Diskusi yang bertajuk "Problematika Penegakan Hukum terhadap Tambang Ilegal yang Kian Menjamur" itu menghadirkan Wali Kota Samarinda Andi Harun sebagai pembicara. Dalam paparannya, Wali Kota Andi Harun merinci sejumlah persoalan penindakan illegal mining dan kerusakan lingkungan.
Menurut Andi Harun, upaya penindakan tersebut cukup sulit dilakukan, bahkan oleh pemerintah pusat. Persoalan pertama, menurut Andi Harun, adalah luasan pertambangan yang tersebar di Indonesia yang mencapai angka 8.713.167,58 juta hektare. Data tersebut, menurut Andi Harun, muncul dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI beberapa waktu sebelumnya.
"Respon pemerintah melalui Kementerian ESDM, sebagaimana yang disampaikan Sunindyo sebagai Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara, Ditjen Minerba, jika pemerintah mengakui kewalahan (menangani problematika pertambangan)," ujar Andi Harun yang mengikuti diskusi tersebut secara virtual.
Dampak dari persoalan itu, menurut Andi Harun, pemerintah kemudian melakukan penguatan pada Perubahan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Dalam UU tersebut, tercantun aturan denda hingga Rp100 miliar dan pidana 5 tahun penjara. Persoalan lainnya, imbuh Andi Harun, adalah adanya beberapa pasal yang dihilangkan dalam aturan UU Minerba terbaru.
Andi Harun mengaku miris sebab perubahan itu menjadi titik kelemahan lainnya dalam regulasi pertambangan yang saat ini dipegang penuh oleh pemerintah pusat. Andi Harun mencontohkan, pasal 165 UU Minerba yang dihapus. Padahal, isi pasal itu mengatur dan menindak perbuataan yang melanggar (menyalanggunakan) kewenangan (pejabat dalam pemberian izin pertambangan).
Karena itu, pengambilalihan regulasi pertambangan oleh pemerintah pusat, menurut Andi Harun sangat menyulitkan daerah dalam penindakan dan pemberian sanksi bagi para pelaku ilegal minning.
Andi Harun berpendapat, faktor hukum yang mengedepankan asas ultimum remidium (hukum pidana menjadi jalan terakhir) kurang tepat sasaran. Alasan Andi Harun, asas ultimum remidium mengedepankan sanksi administrasi. Bagi pelaku tambang ilegal, hukum itu akan mengurangi tanggung jawab terhadap jejak aktivitas pertambangannya.