Pandu Sjahrir katakan juga dalam keterangan resminya, bahwa akan ada masalah dalam arus kas produsen batubara. Itu bisa terjadi karena mereka tidak bisa jual batubara ekspor.
Dampak lain adalah berhentinya kapal-kapal tujuan ekspor berlayar. Padahal, hampir semua kapal-kapal yang beroperasi adalah milik perusahaan di negara tujuan ekspor.
Pandu Sjahrir menghitung ada beban biaya yang harus ditanggung akibat penghentian pelayaran kapal-kapal itu.
"Perusahaan akan terkena biaya tambahan oleh perusahaan pelayaran terhadap penambahan waktu pemakaian (demurrage) yang cukup besar (US$20,000-US$40,000 per hari per kapal) yang akan membebani perusahaan-perusahaan pengekspor yang juga akan berdampak terhadap penerimaan negara," ujar Pandu Sjahrir.
Di lain sisi, saat ini ada kapal-kapal yang berlayar ke perairan Indonesia. Mereka mengalami kondisi tidak pasti.
Menurut Pandu Sjahrir, hal itu berakibat pada reputasi dan kehandalan Indonesia sebagai pemasok batubara dunia.
Diperkirakan juga akan ada banyak sengketa terjadi antara penjual dan pembeli batubara. Itu akibat adanya deklarasi force majeur secara massif dari produsen batubara karena tidak bisa kirimkan batubara ekspor ke para pembeli yang sudah miliki kontrak.
Dampak kerugian pun sudah bisa dipastikan, tambah Pandu Sjahrir. Terutama karena larangan itu diberlakukan untuk seluruh perusahaan yang selama ini patuh pada aturan.
"Pemberlakuan larangan ekspor secara umum akibat ketidakpatuhan dari beberapa perusahaan akan merugikan bagi perusahaan yang patuh dan bahkan seringkali diminta untuk menambal kekurangan pasokan," ujar Pandu Sjahrir.
APBI ungkapkan bahwa untuk atasi kondisi kritis stok batubara PLTU grup PLN harusnya didiskusikan dengan para pelaku usaha. (Redaksi)