Minggu, 6 Oktober 2024

Berita Nasional Hari Ini

Mahfud MD Sebut Negara Bisa Rugi Milyaran Akibat Salah Kelola Proyek di Kemenhan 2015

Jumat, 14 Januari 2022 21:11

Menko Polhukam Mahfud MD, Kamis (13/1/2022) saat memberikan keterangan pers terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan Satkomhan di Kementerian Pertahanan tahun 2015. (Foto: capture kanal Youtube Kemenko Polhukam)

POPNEWS.ID - Menko Polhukam, Mahfud MD, sebutkan adanya dugaan pelanggaran hukum sewaktu pengelolaan proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemenhan) di 2015 lalu.

Mahfud MD sebutkan hal itu saat konferensi pers yang disiarkan melalui kanal Youtube Kemenko Polhukam di Jakarta, Kamis (13/1/2022).

Dalam rincian pernyataannya, Mahfud MD katakan bahwa penyalahgunaan wewenang itu sebabkan kerugian negara.

Jumlah kerugian negara karena proyek satelit di Kemenhan capai miliaran rupiah.

Jumlah itu muncul atas perhitungan Mahfud MD dengan berbagai dasar.

Pemerintah menurut Mahfud, telah mengadakan rapat pembahasan terkait masalah itu berulang-ulang. Mahfud MD pun akui telah melakukan pertemuan dan diskusi bersama beberapa menteri dan lembaga terkait.

Tak hanya itu, Mahfud MD juga telah laporkan dugaan kasus itu kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

"Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini," ujar Mahfud MD.

Duduk perkara proyek satelit Kemenhan

Mahfud MD uraikan duduk perkara dugaan penyalahgunaan wewenang di Kemenhan pada 2015 itu. Kasus itu berawal waktu Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat bujur timur pada 19 Januari 2015.

Dampaknya ada kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Sesuai peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit.

Jika aturan itu tidak terpenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur otomatis. Hak pengelolaan slot orbit pun bisa diambil alih negara lain.

Langkah Kemenhan waktu itu ingin membangun Satelit Komunikasi Pertahanan atau Satkomhan untuk mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit 123 derajat bujur timur.

Kemenhan era Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu lalu minta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) agar bisa membangun Satkomhan tersebut.

Tak hanya sampai di situ, Kemenhan lalu meneken kontrak bersama PT Avanti Communication Limited. Kontrak itu berkaitan dengan sewa menyewa Satelit Artemis 6 Desember 2015.

Tetapi kala itu pihak Kemenhan tidak punya anggaran untuk pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan atau Satkomhan.

"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat Satkomhan, Satelit Komunikasi Pertahanan dengan nilai yang sangat besar. Padahal anggarannya belum ada," ujar Mahfud MD.

Gugatan kepada Kemenhan pun datang dari PT Avanti yang dilayangkan ke London Court of International Arbitration Inggris. Gugatan dilakukan karena Kemenhan belum membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

Terhitung 9 Juli 2019, pengadilan menjatuhkan putusan kepada negara. Putusan itu mewajibkan negara membayar biaya sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling satelit.

Total semua anggaran sewa tercatat mencapai Rp515 miliar. Menurut Mahfud MD, karena kalah di pengadilan, negara diwajibkan membayar denda dan menanggung kerugian.

Menurut Mahfud MD, "negara membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya."

Kontrak Kemenhan ternyata bukan hanya dengan PT Avanti. Kemenhan pun, kata Mahfud MD, teken kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. Kontrak itu disepakati sepanjangan tahun 2015 hingga 2016.

Mahfud juga sebutkan, Navayo telah meneken kontrak bersama Kemenhan. Namun menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen certificate of performance.

Meski begitu, kata Mahfud, kontrak diterima dan ditandatangani pejabat Kemenhan antara 2016-2017.

Kemudian pihak Navayo ajukan tagihan sebesar 16 juta dolar AS ke Kemenhan. Pemerintah saat itu tidak membayarnya.

Akibatnya Navayo ajukan gugatan ke Pengadilan Arbitrase Singapura.

Hasil pengadilan itu pada 22 Mei 2021. Pengadilan Arbitrase Singapura menerbitkan perintah agar Kemenhan membayar 20,9 juta dolar AS atau sekitar Rp296 miliar untuk Navayo.

Selain keharusan membayar Navayo, Mahfud MD juga sampaikan bahwa Kemenhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh beberapa perusahaan lainnya, yakni Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat karena sudah menandatangani kontrak sewa.

"Sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," ujar Mahfud.

Kasus ini telah mendapatkan atensi dari Kejaksaan Agung.

"Kami sampaikan ke Kejaksaan Agung untuk tindak lanjuti," ujar Mahfud MD.

Orang yang melakukan kontrak itu harus bertanggung jawab atas segala tuntutan yang ada terhadap negara.

Sementara Jaksa Agung menyatakan saat ini pihaknya telah lama menelisik kasus ini. Saat ini pihak kejaksaan masih lakukan pendalaman terhadap kasus ini.

"Dari hasil penyelidikan cukup bukti untuk kami tingkatkan ke penyidikan," ujar Jaksa Agung St. Burhanuddin. (Redaksi)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
POPentertainment