Menariknya, yayasan tersebut memiliki analisis yang sama dengan BIN bahwa Gus Dur akan jatuh.
Sebagai solusi, utusan yayasan berinisial Mr. YM akan mempersiapkan pesawat evakuasi bagi Gus Dur dan keluarganya ke John Hopkins University Hospital di Baltimore, AS, dengan alasan menjalani perawatan kesehatan.
Utusan itu mengatakan, Gus Dur harus tetap menjadi presiden, meskipun hanya sebagai simbol karena Indonesia sedang berjuang menjadi negara demokrasi Muslim terbesar di dunia.
Jika berhasil, itu dinilai dapat mempengaruhi negara-negara Islam lainnya. Namun sekali lagi, Gus Dur juga menolak tawaran tersebut.
Kendati memberikan penolakan atas berbagai tawaran yang ada, As’ad terlihat memberi pujian kepada Gus Dur.
Penolakan-penolakan itu menunjukkan keteguhan hati Gus Dur untuk tidak terjebak dalam politik kompromistis.
Dari segi moral, pujian As’ad sekiranya tepat, namun tidak dari segi politik realis.
Untuk kepentingan ini, menarik membaca tulisan Kishore Mahbubani yang berjudul The Genius of Jokowi.
Menariknya, Mahbubani menyebut Presiden Jokowi sebagai seorang jenius, tepatnya politisi jenius karena mantan Wali Kota Solo ini memiliki kemampuan konsolidasi politik yang sangat baik.
Tulis Mahbubani, berbeda dengan Joe Biden di AS, Jokowi berhasil menyatukan negaranya secara politik meskipun melalui pembelahan politik luar biasa di 2019.
Ratusan tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1513, Niccolò Machiavelli dalam bukunya Il Principe juga mengatakan hal serupa.
Menurut Machiavelli, kehebatan seorang penguasa, bukan terletak pada kecerdasaan, kebaikan, atau kengeriannya, melainkan kemampuannya dalam mengonsolidasi kekuasaan, meredam potensi perlawanan, dan menjaga dukungan masyarakat.
Singkatnya, mengacu pada definisi politisi jenius dari Mahbubani, mungkin dapat dikatakan, Gus Dur kurang memiliki kecakapan politik.
Jika menerima salah satu tawaran politik yang ada, sejarah yang saat ini kita baca mungkin akan berbeda.
Konteksnya semakin menarik apabila kita melakukan elaborasi dengan buku Kepala BIN 2001-2004, A.M. Hendropriyono yang berjudul Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia.
Dalam bukunya, Hendro menganalogikan BIN seperti gergaji. “Jika kita gagal menggergaji kayu, tidak benar jika kita membanting atau memaki-maki alat gergajinya,” tulisnya.
Tegas Hendro, intelijen merupakan alat negara yang bertugas untuk mengumpulkan dan memberikan informasi.
Nah, dipandang berguna atau tidaknya informasi tersebut, bergantung atas sang klien tunggal, yakni presiden.
Artinya, seperti pernyataan As’ad, BIN telah memberikan informasi indikasi operasi penjatuhan kepada Gus Dur, namun sang presiden tidak merespons serius pada awalnya.
Mengutip Machiavelli, itu menunjukkan Gus Dur tidak memiliki penciuman politik yang baik. Gus Dur telah gagal dalam mendeteksi bahaya politik yang mengancam kekuasaannya. (*)