POPNEWS.ID - Lengsernya Presiden ke IV RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masih menjadi perbincangan hingga kini.
Bahkan, ada yang menyebut terdapat operasi intelejen untuk melengserkan Gus Dur.
Benarkah demikian?
Diketahui, Gus Dur lengser dari posisi Presiden pada 23 Juli 2001.
Berbagai spekulasi dan analisis bertebaran. Ada yang menyebut nama Amien Rais.
Tentunya ini bertolak dari posisi Amien sebagai Ketua MPR saat itu.
Ada pula yang menyebut operasi Megawati Soekarnoputri agar menjadi presiden.
Analisis ini misalnya diungkapkan oleh mantan Juru Bicara Gus Dur, Adhie Massardi.
Yang jelas, berbagai peristiwa telah memicu konflik dan mengalami eskalasi, hingga MPR mencabut mandat Gus Dur melalui sidang istimewa.
Ada pertikaian dengan berbagai elite politik. Ada pula dugaan ini terkait hubungan yang kurang baik dengan militer.
Dalam bukunya Perjalanan Intelijen Santri, As’ad Said Ali menjelaskan operasi intelijen di balik jatuhnya Gus Dur.
Penulis mengangkat buku ini karena melihat belum ada sudut pandang intelijen dalam diskursus jatuhnya Gus Dur.
Apalagi, As’ad yang merupakan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) 2000-2011 jelas memiliki informasi A1 terkait peristiwa politik tersebut.
As’ad yang menjadi Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2010-2015 juga dikenal memiliki kedekatan tersendiri dengan Gus Dur.
Sebagai presiden atau klien tunggal BIN, Gus Dur mendapatkan informasi intelijen secara berkala dari As’ad dan Kepala BIN 1999-2001, Letnan Jenderal TNI Arie J. Kumaat.
Sedikit konteks, sampai saat ini As’ad adalah satu-satunya sipil yang pernah menjadi pemimpin BIN.
Sayang tidak disebutkan persisnya kapan, mungkin pada Desember 2000, bersama dengan Kepala BIN Arie J Kumaat, As’ad melaporkan terdapat indikasi penjatuhan presiden melalui proses politik di legislatif yang diberi kata sandi “Mesin Waktu”.
Disebutkan, Mesin Waktu terdiri dari tiga gatra. Pertama, pembentukan opini di media melalui berbagai kasus, misalnya Bulog Gate dan Brunei Gate.
Kedua, menggerakkan aksi massa untuk memanaskan opini. Ini juga sebagai persiapan mobilisasi massa besar-besaran.
Ketiga, membentuk circle-circle kekuatan lintas fraksi di parlemen.
BIN sebenarnya telah mengetahui terdapat tujuh tokoh di baliknya, namun tidak disampaikan karena dikhawatirkan bocor.
Menurut As’ad, awalnya Gus Dur tidak menanggapi serius informasi tersebut karena menilainya masih dalam koridor demokrasi.
Meskipun demikian, Gus Dur tetap bertanya, “sejauh mana kekuatan mereka itu?”
Arie Kumaat meminta As’ad menjawab. Untuk menjatuhkan Gus Dur, itu bisa berhasil jika mendapat dukungan politik, minimal dari Megawati dan Amien Rais, serta jika ada pelanggaran hukum.
Mendengar analisis tersebut, Gus Dur menyebut tidak perlu khawatir karena Megawati dan Amien dinilai tidak akan menyusahkannya.
Namun sebagai pencegahan, As’ad kemudian menemui Amien bersama dengan Oesman Sapta Odang. Dalam pertemuan itu baru diketahui, ternyata Amien kesulitan berkomunikasi dengan Gus Dur sejak bulan kelima Gus Dur menjabat.
Hal yang sama juga terjadi pada Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil. Dari sana kemudian disadari, operasi Mesin Waktu tampaknya sudah berjalan lama.
Sejak bulan kelima, komunikasi Gus Dur diputus dengan pihak-pihak penting.
Dalam pemaparannya, As’ad dengan tegas membantah Amien sebagai dalang kejatuhan Gus Dur. Malah sebaliknya, Amien begitu mendukung kepemimpinan Gus Dur.
Pun demikian dengan desas-desus seputar HMI Connection, As’ad tegas membantahnya.
Lanjut ke Mesin Waktu. Entah bagaimana, operasi ini telah masuk ke dalam ruang-ruang Istana. Pasalnya, tidak hanya kolega politik, kolega dekat dan keluarga Gus Dur juga mengalami hal yang sama.
Ini misalnya ditarik dari keluhan seorang keluarga Gus Dur karena fax yang dikirimnya setiap jam 2 malam tidak pernah sampai ke meja presiden.
Selain itu, pertemuan rahasia Gus Dur dengan Amien di Darwin, entah bagaimana dapat bocor ke berbagai media. Jelas ada internal Istana yang bermain.
Kondisi psikologi politik dan internal Istana begitu emosional saat itu. Keluarga dekat Gus Dur bahkan sampai mendukung usulan Dekrit Presiden yang kemudian hari menjadi preseden sidang istimewa MPR.
Menurut As’ad, sampai hari-hari terakhir, Gus Dur sebenarnya begitu ragu untuk mengeluarkan Dekrit.
Namun entah bagaimana, Dekrit itu keluar, dan jatuh lah Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Menariknya, As’ad menyebut Gus Dur mendapat berbagai tawaran politik agar kekuasaannya bertahan.
Pertama, dua minggu setelah pertemuan dengan Amien batal, melalui Theo Safei, As’ad diberi draf keputusan DPR yang berisi tawaran politik untuk melimpahkan sebagian wewenang presiden kepada wakil presiden.
Namun Gus Dur menolak tawaran tersebut. Hubungan yang kemudian merenggang antara Gus Dur dan Megawati, diduga salah satunya karena penolakan tersebut.
Kedua, pertemuan antara sosok-sosok penting, seperti Ketua Golkar Akbar Tanjung dan Ketua PKB Matori, menyepakati suatu usulan agar presiden membentuk “Kabinet Empat Kaki” yang terdiri dari Poros Tengah, PDIP, Golkar, dan TNI.
Usulan ini pun ditolak Gus Dur saat itu.
Ketiga, ada tawaran menarik dari sebuah yayasan internasional sangat berpengaruh yang berbasis di Amerika Serikat (AS).
Menariknya, yayasan tersebut memiliki analisis yang sama dengan BIN bahwa Gus Dur akan jatuh.
Sebagai solusi, utusan yayasan berinisial Mr. YM akan mempersiapkan pesawat evakuasi bagi Gus Dur dan keluarganya ke John Hopkins University Hospital di Baltimore, AS, dengan alasan menjalani perawatan kesehatan.
Utusan itu mengatakan, Gus Dur harus tetap menjadi presiden, meskipun hanya sebagai simbol karena Indonesia sedang berjuang menjadi negara demokrasi Muslim terbesar di dunia.
Jika berhasil, itu dinilai dapat mempengaruhi negara-negara Islam lainnya. Namun sekali lagi, Gus Dur juga menolak tawaran tersebut.
Kendati memberikan penolakan atas berbagai tawaran yang ada, As’ad terlihat memberi pujian kepada Gus Dur.
Penolakan-penolakan itu menunjukkan keteguhan hati Gus Dur untuk tidak terjebak dalam politik kompromistis.
Dari segi moral, pujian As’ad sekiranya tepat, namun tidak dari segi politik realis.
Untuk kepentingan ini, menarik membaca tulisan Kishore Mahbubani yang berjudul The Genius of Jokowi.
Menariknya, Mahbubani menyebut Presiden Jokowi sebagai seorang jenius, tepatnya politisi jenius karena mantan Wali Kota Solo ini memiliki kemampuan konsolidasi politik yang sangat baik.
Tulis Mahbubani, berbeda dengan Joe Biden di AS, Jokowi berhasil menyatukan negaranya secara politik meskipun melalui pembelahan politik luar biasa di 2019.
Ratusan tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1513, Niccolò Machiavelli dalam bukunya Il Principe juga mengatakan hal serupa.
Menurut Machiavelli, kehebatan seorang penguasa, bukan terletak pada kecerdasaan, kebaikan, atau kengeriannya, melainkan kemampuannya dalam mengonsolidasi kekuasaan, meredam potensi perlawanan, dan menjaga dukungan masyarakat.
Singkatnya, mengacu pada definisi politisi jenius dari Mahbubani, mungkin dapat dikatakan, Gus Dur kurang memiliki kecakapan politik.
Jika menerima salah satu tawaran politik yang ada, sejarah yang saat ini kita baca mungkin akan berbeda.
Konteksnya semakin menarik apabila kita melakukan elaborasi dengan buku Kepala BIN 2001-2004, A.M. Hendropriyono yang berjudul Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia.
Dalam bukunya, Hendro menganalogikan BIN seperti gergaji. “Jika kita gagal menggergaji kayu, tidak benar jika kita membanting atau memaki-maki alat gergajinya,” tulisnya.
Tegas Hendro, intelijen merupakan alat negara yang bertugas untuk mengumpulkan dan memberikan informasi.
Nah, dipandang berguna atau tidaknya informasi tersebut, bergantung atas sang klien tunggal, yakni presiden.
Artinya, seperti pernyataan As’ad, BIN telah memberikan informasi indikasi operasi penjatuhan kepada Gus Dur, namun sang presiden tidak merespons serius pada awalnya.
Mengutip Machiavelli, itu menunjukkan Gus Dur tidak memiliki penciuman politik yang baik. Gus Dur telah gagal dalam mendeteksi bahaya politik yang mengancam kekuasaannya. (*)