Minggu, 24 November 2024

Kasus IKN Tempat Jin Buang Anak Disidangkan, Berkas Tuntutan Edy Mulyadi Setebal Bantal

Rabu, 11 Mei 2022 19:29

Edy Mulyadi penuhi panggilan polisi, Senin (31/1/2022). (Foto: ist)

POPNEWS.ID - Edy Mulyadi akhirnya menjalani sidang perdana kasus ujaran tempat jin buang anak.

Sebelumnya, Edy Mulyadi jadi sorotan warga Kalimantan usai menyebut lokasi pembangunan Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara sebagai tempat jin buang anak.

Diketahui, Jokowi memilih Kalimantan Timur sebagai lokasi IKN menggantikan Jakarta.

Tim pengacara Edy Mulyadi, Juju Purwantoro, merasa terkejut dengan berkas dakwaan terhadap kliennya yang sangat tebal.

Apalagi lampiran dalam dakwaan disebutnya setebal bantal.

"Sepanjang pengalaman sebagai advokat kami juga 'surprised', karena baru melihat materi dakwaan Edy setebal 313 halaman. Ditambah lagi dengan lampiran setebal 'bantal' hampir 1.000 lembar (995 halaman)," ujar Juju dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (11/5/2022).

Sidang perdana Edy Mulyadi di kasus 'jin buang anak' ini digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (10/5) siang tadi. Edy didakwa membuat keonaran atas konten video di channel YoTube 'Bang Edy Channel'.

Menurut juju, konten Edy merupakan kritikan positif dan konstruktif kepada pemerintah terkait rencana memindahkan Ibu Kota Negara ( IKN) ke Kalimantan Timur.


Menurut Juju, konten Edy Mulyadi ini sama sekali tak mengandung SARA.

"Sesungguhnya secara keseluruhan konten beberapa video tersebut, sama sekali bukan dengan maksud untuk menimbulkan permusuhan atau rasa kebencian sama sekali berdasarkan Suku Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).

Ujarannya itu, juga bukan dimaksudkan atau ditujukan kepada kelompok suku di Kalimantan atau kepada seseorang siapapun," jelas Juju.

Adapun beberapa konten video yang diunggah Edy Mulyadi antara lain 'Tolak Pindah Ibukota Negara Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat', 'Indonesia Dijarah Rakyat Dipaksa Pasrah. Bersuara Risiko Penjara', dan 'Cuma Bancakan Oligarki, Koalisi Masyarakat Kaltim Tolah Pemindahan IKN'.

"Salah satu transkrip atau konten yang didakwakan dengan narasi: "punya gedung sendiri lalu dijual pindah ke 'tempat jin buang anak' dan kalau pasarnya 'kuntilanak genderuwo' ngapain gue bangun di sana"," kata Juju.

Dalam dakwaan tersebut, jaksa menyebutkan bahwa konten Edy tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik karena tidak akurat, tidak berimbang, menghakimi, melanggar asas praduga tidak bersalah, dan punya iktikad buruk.

JPU juga beralasan terdakwa pada saat konferensi pers bertindak sebagai narasumber sekaligus pemilik aku YouTube 'Bang Edy Channel' adalah bukan dalam kapasitas profesi wartawan.


Konten Edy dinilai hanya opini sepihak tanpa keberimbangan pihak lainnya, melainkan kebohongan belaka, penghinaan, pencemaran nama baik, dan membangkitkan permusuhan atau kebencian, serta melanggar asas praduga tidak bersalah.

JPU juga menyebutkan konten Edy bukan proses jurnalistik juga bukan suatu produk jurnalistik tetapi 'gerakan politik'."

"Jika narasi atau ujaran Edy adalah 'gerakan politik' seperti didakwakan JPU, maka bisa kita katakan JPU juga sudah turut membenarkan bahwa dakwaanya juga kental dengan unsur (nuansa) politik, bukan unsur hukum materil 'ansich'," tutur Juju.

Namun, Juju berkeyakinan bahwa ucapan Edy Mulyadi adalah sebagai insan pers yang dilindungi oleh UU tentang Pers No. 40 Tahun 1999. Juju beranggapan kliennya tidak layak untuk diadili.

"Oleh karenanya, Edy tidak layak untuk diadili, yang berpotensi menjadi peradilan yang tidak adil. Kasus tersebut jangan sampai menjadi 'peradilan sesat', menjadi preseden buruk di negeri yang katanya berdasar hukum (rechts staat), jika seseorang menyampaikan opininya di muka umum, dengan mudahnya diseret ke masalah hukum," ungkapnya.

Juju mengatakan kasus Edy ini seharusnya diselesaikan di Dewan pers, bukan dipidana.

"Apalagi dalam rangka melaksanakan tugas-tugas jurnalistik, dan profesinya sebagai insan pers.

Sesuai prosedur hukum, kasus Edy tersebut seharusnya menjadi kewenangan Dewan Pers untuk memediasi lebih dahulu, sebelum proses peradilan (due process of law)," katanya.

Juju menyampaikan sejak awal pemeriksaan BAP oleh penyidik, peristiwa hukum Edy yang dipersoalkan adalah terkait proyek IKN, adalah akibat ujarannya tentang 'tempat jin buang anak'. Tetapi, ungkapan 'tempat jin buang anak' tidak dijadikan fokus oleh JPU dalam argumentasi dakwaannya.

"Sebagai contoh, dalam dakwaannya JPU malah melebar, dan juga bias (absurb) ke mana-mana dengan menyebut-nyebut antara lain; bisnis anak presiden Jokowi, bisnis tambang Luhut Binsar Panjaitan dan Yusril Ihza Mahendra di Kalimantan.

Justru PJPU tidak mempertimbangkan juga bahwa dalam dakwaannya disebutkan juga ada keberatan dari Yati Dahlia, masyarakat/suku Balik di Sekayu Penajam Paser Utara, Kaltim, karena rencana pembangunan IKN yang tidak melibatkan masyarakat adat setempat.

Bahkan saat ini Yati Dahlia dan sejumlah kelompok masyarakat suku dayak Kalimantan lainnya, sedang mengajukan permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang program IKN tersebut," beber Juju.


Dalam sidang ini, Edy Mulyadi didakwa membuat keonaran di kalangan masyarakat. Edy didakwa membuat onar karena kalimat 'tempat jin buang anak' saat konferensi pers KPAU (LSM Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat).

Edy Mulyadi didakwa melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana subsider Pasal 14 ayat (2) UU RI No 1/1946 atau kedua Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU RI No 19/2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Ketiga Pasal 156 KUHP. (*)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
POPentertainment