"Karena seumur saya, baru tahun ini pilkada cuman satu calon. Saya sudah 60 tahun. Kalau kita ambil contoh, dulu zaman bupati Syaukani di Kukar, dia tidak ada lawan. Kemudian dia ambil dan pasang orang sehingga terjadilah demokrasi. Seharusnya KPU atau Bawaslu bersyukur sama kita karena kita sosialisasikan cara memilih," beber Imron.
Sementara jika berbicara kerugian, Imron mengaku kalau hal tersebut ditaksir mencapai Rp 3 juta.
"Kalau berbicara kerugian berapa biaya itu, kita ini patungan bahkan sampai ada yang kelahi sama bini ada yang bekelahi sama laki. Itu kita kumpulan 1 orang Rp 200 ribu selama 1 bulan. Yang sempat kita bikin 100 spanduk dengan dana terkumpul 3 jutaan," urainya.
Sementara itu, Komisioner Bawaslu Samarinda, Imam Sutanto yang turut dikonfirmasi menyebut kalau pihaknya sejatinya tak menyoal pemasangan alat peraga kampanye dari Aliansi Kotak Kosong.
"Bawaslu bukan lembaga yang bertangungjawab atas pencopotan. Pertama bawaslu tidak melepas, kalo ada mengklaim, itu tidak benar," jelas Imam.
Jika penertiban sejatinya dilakukan pihak Satpol-PP karena memang menjadi ranah kewenangan mereka.
"Mungkin karena ada laporan masyarakat, ada spanduk yang enggak izin, masa urusan Bawaslu juga," pungkasnya. (*)