“Selama ini, informasi izin tersebut selalu disimpan dan dirahasiakan. Permintaan dokumen perizinan perusahaan yang kami lakukan pada 2018 juga ditolak ESDM. Padahal apa yang termuat dalam dokumen itu menyangkut kehidupan kami dan kami perlu tahu. Ini awal yang baik dan memberi tambahan semangat dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa hak-hak publik itu lebih tinggi dari apapun termasuk hak informasi yang berhubungan dengan ruang hidup warga,” tambah Serli.
Konsesi tambang PT DPM yang terbentang dari Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat di Sumatera Utara hingga Kota Subulussalam, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terletak di jantung dari salah satu daerah kerak bumi yang paling tidak stabil secara seismik.
Jaraknya sekitar 150 mil timur dari batas antara lempeng geologis yang dikenal sebagai subduksi Sunda, yang telah memicu letusan besar gunung berapi termasuk Toba dan Krakatau pada tahun 1883.
Daerah ini juga terdampak saat terjadi gempa di Samudera Hindia dan tsunami pada 2004 dan berjarak hanya beberapa mil dari patahan Sumatera Besar, yang dikenal karena menghasilkan gempa bumi yang berlangsung selama beberapa menit pada suatu waktu dan telah menghancurkan infrastruktur seperti bendungan. Secara keseluruhan, Bukit Barisan memiliki 35 gunung berapi aktif.
“Keberadaan PT DPM ini berisiko besar bagi keselamatan warga, tidak saja terkait tambang bawah tanah yang memakai bahan peledak, tetapi, bendungan limbah tailing raksasa untuk menampung limbah tambang berada di atas tanah yang labil dan patahan gempa Sumatera. Semua itu berpotensi besar menghancurkan lahan-lahan pertanian dan perkebunan, juga akan menenggelamkan desa-desa di bagian hilir”,’ ujar Jamil.
Dengan demikian, putusan hukum atas sengketa informasi di KIP oleh warga Dairi mestinya menjadi acuan bagi pemerintah untuk menghentikan operasi dan segera mengevaluasi PT DPM, termasuk menghentikan permanen seluruh proses adendum AMDAL di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Artikel ini telah tayang di pojoknegeri.com
(redaksi)