Setelah menyaksikan 25 menit dari film tersebut, ruang diskusi lantas di buka. Dari ulasan karya Bambang itu, para aktivis menilai kalau sejatinya pemerintah adalah biangkerok dari sejumlah persoalan yang terjadi di industri ekstraktif.
“Transisi energi itu palsu. Karena pembangkit energi baru tetap menggunakan batubara, dan masyarakat di sini menjadi korban dan direntankan negara,” tambahnya.
Selain itu, Eta sapaan karibnya juga menjelaskan kalau pemutaran film juga ditunjukkan untuk melihat tren proyek energi penting di Indonesia.
“Jumlah uang banyak berputar itu. Dan itu digunakan karena dunia merespon kekacauan lingkungan,” katanya.
Dari kekacauan lingkungan yang terjadi, Indonesia disebut maju ke panggung dunia dengan tawaran program pengurangan emisi karbon. Namun untuk menjalankan program tersebut, pemerintah membutuhkan bantuan dana asing.
Meski mendapat sokongan besar, namun pemberian dana asing terhitung sebagai piutang. Yang mana para aktivis ini menilai kalau beban utang negara akan berimplikasi pada kesejahteraan, kesehatan dan ancaman ruang hidup masyarakat.
“Dukungannya tidak kosong dan itu kembali menjadi beban masyarakat,” pungkasnya. (*)