POPNEWS.ID - Berbagai pihak khawatir Indonesia akan bangkrut seperti Sri Lanka.
Diketahui, Sri Lanka dinyatakan gagal bayar utang luar negeri.
Sementara, utang Indonesia saat ini disebut-sebut mencapai Rp 7 ribu triliun.
Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan Indonesia tak akan senasib dengan Sri Lanka.
Sri Mulyani Indrawati melaporkan, penarikan utang hingga bulan Maret 2022 sudah susut sebesar 55,6 persen.
Jumlah utang yang ditarik menurun menjadi Rp 149,6 triliun.
Porsinya sebesar 15,4 persen dari target APBN 2022 sebesar Rp 973,6 triliun.
Sedangkan pada periode yang sama tahun lalu, pembiayaan utang mencapai Rp 336,9 triliun atau tumbuh 290,3 persen (yoy).
"Penerbitan surat utang sampai dengan bulan Maret justru menurun yang sangat drastis.
Itu karena penerimaan negara yang makin kuat, belanjanya terkendali.
Maka defisitnya dan pembiayaan mengalami penurunan, 55,6 persen," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA, Rabu (20/4/2022).
Bendahara negara ini merinci, susutnya utang terjadi lantaran penerbitan SBN dan pinjaman neto berkurang.
Tercatat, penerbitan SBN susut sebesar Rp 60,4 persen dari Rp 337,2 triliun pada Maret 2021 menjadi Rp 133,6 triliun.
Porsi penerbitan ini sebesar 13,5 persen dari target Rp 991,3 triliun.
Sementara itu, pinjaman neto terealisasi Rp 16 triliun.
Beda APBN Indonesia dengan Sri Lanka
Sri Mulyani menyebut kondisi APBN Indonesia berbeda dengan Sri Lanka yang sudah gagal bayar utang luar negeri.
"Dalam hal ini kita melihat kondisi APBN Indonesia jauh sangat berbeda dengan situasi yang dihadapi oleh negara seperti Sri Lanka.
Oleh karena itu, kita akan tetap menjaga secara hati-hati," ungkap dia.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menuturkan, susutnya penarikan utang terjadi karena adanya penyesuaian strategi antisipasi pasar keuangan yang masih fluktuatif dan kondisi kas yang masih cukup.
Tingkat inflasi dunia, kondisi geopolitik Rusia-Ukraina, dan aliran modal asing yang keluar karena normalisasi kebijakan moneter menambah risiko di pasar keuangan.
Hal ini membuat penerbitan utang lebih berisiko secara jangka panjang.
"Kita sudah menciptakan ketahanan APBN kita dengan kondisi kas yang cukup.
Pasar keuangan yang volatile tidak harus dipaksa melakukan pembiayaan untuk APBN.
Ini strategi yang pas dan sesuai. Dengan demikian APBN mendapatkan reputasi dan kredibilitas yang baik," jelas dia.
Penurunan utang ini tak terlepas dari kerja sama otoritas fiskal dengan Bank Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan SKB II.
Dengan begitu, BI memiliki dua peranan, yakni sebagai standby buyer atas SBN yang diterbitkan, serta pendukung belanja di bidang kesehatan bantuan sosial.
Tercatat sepanjang tahun ini, BI sudah membeli Rp 15,3 triliun, dengan rincian SUN Rp 7,6 triliun dan SBSN Rp 7,7 triliun.
Di sisi lain, pemerintah masih memiliki Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) Rp 149,7 triliun.
"Jadi Indonesia merupakan salah satu negara yang dalam hal ini kondisi APBN-nya dalam posisi yang cukup baik dengan situasi yang ada, yaitu harga komoditas dan pemulihan ekonomi yang dua-duanya memberi dampak positif sehingga defisit kita menurun," tutur Sri Mulyani. (*)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS