POPNEWS.ID - Target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden Terpilih Prabowo Subianto dinilai sulit tecapai.
Diketahui, Bos Gerindra ini menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh di angka 8 persen dalam 3 tahun masa jabatannya.
Sementara, beberapa tahun terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tertahan di angka 5 persen.
Namun, untuk mencapai target pertumbuhan di atas 5%, kini semakin sulit.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu mengatakan hal itu.
Menurutnya, kondisi ini disebabkan iklim ekonomi global yang trennya tengah dalam pelemahan, khususnya di negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti China.
Aliran investasi pun terbatas karena tren suku bunga acuan bank sentral negara-negara maju yang tengah tinggi karena sulit turunnya tekanan inflasi di negara-negara itu.
Diperburuk dengan konflik geopolitik di berbagai wilayah.
"Jadi menurut saya agak susah mengharapkan pertumbuhan di atas 5%, kita sudah baik kalau bisa mempertahankan di 5%," ucap Mari Kamis (30/5/2024).
Mari mengatakan, komponen penunjang pertumbuhan, seperti investasi dan ekspor memang sulit diperoleh karena masalah global, membuat ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir hanya ditopang konsumsi domestik.
Maka, ia menganggap perlu inovasi tinggi untuk mencari sumber pertumbuhan supaya ekonomi bisa naik di atas 5%.
Sebagaimana diketahui, hingga kuartal I-2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,11% secara tahunan, mayoritas masih ditopang konsumsi rumah tangga yang porsinya sebesar 54,93%, diikuti investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 29,13%, ekspor 21,37%, konsumsi pemerintah 6,25%, dan konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) 1,43%.
Oleh sebab itu, Mari mengungkapkan, strategi yang bisa ditempuh untuk menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru dari sisi eksternal atau ekspor khususnyq ialah dengan memanfaatkan kekuatan ekonomi kawasan, seperti di ASEAN maupun Asia.
Integrasi ekonomi di kawasan itu menurutnya penting dilakukan di tengah membesarnya fragmentasi ekonomi global seperti konflik perdagangan antara China dan Amerika Serikat yang mengganggu aktivitas ekonomi kedua negara itu.
Sebagai informasi Dana Moneter Internasional (IMF) pun memperkirakan ekonomi China pada tahun ini hanya tumbuh 5% dan merosot ke 4,5% pada 2025. Padahal, sebelum pandemi ekonomi negara mitra dagang utama Indonesia itu mampu tumbuh konsisten di kisaran 6%-7%.
"Solusinya kita mesti pandai-pandai menavigasi dan pandai-pandai mencari sumber pertumbuhan ekonomi di kawasan kita, jadi kita perlu mendalam intergrasi di kawasan Asia Timur, basisnya di ASEAN, kita punya RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) itu Asia Timur, kita bisa jadi lebih kuat kalau kita bangun regional supply chain," tutur Mari.
Adapun untuk mendorong laju investasi, ia mengatakan, yang perlu dilakukan ialah membenahi secara terus menerus dan konsisten iklim usaha yang stabil di Indonesia. Sebab, iklim usaha yang stabil itu akan membuat beban biaya berusaha di dalam negeri menjadi semakin kecil.
"Karena macam-macam itu menjadi PR nomor 1 dan itu tidak perlu biaya, tidak perlu APBN, itu hanya memerlukan tekad kita akan membenahi aturan-aturan yang menyulitkan bisnis dan fokus dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi investor," ucapnya.
Ia mengakui, upaya perbaikan iklim usaha itu memang sudah mulai dibenahi dengan lahirnya UU Cipta Kerja, namun yang menjadi masalah menurutnya ialah aturan turunannya yang tak sinkron dengan kepentingan pengusaha karena tak pernah dilibatkan, misalnya terkait aturan importasi yang menjadi polemik hingga tak kunjung beresnya pembenahan sistem OSS.
"Jadi benar-benar kalau menurut saya tugas pertama sih iklim bisnis, karena kita tidak akan tumbuh kalau investasi, bukan hanya bicara dari luar negeri, tapi dari dalam negeri harus bisa bergerak.
PR lain masih banyak tapi itu yang tak perlu anggaran kan tapi cukup membenahi, termasuk masalah di pelabuhan itu kan kontainer tertahan lah," tegas Mari. (*)