Jumat, 22 November 2024

Berita Nasional Hari Ini

Daftar Lengkap 45 Tokoh Nasional Inisiator Petisi Tolak Pemindahan IKN

Senin, 7 Februari 2022 22:52

Petisi "Dukung Suara Rakyat: PAK PRESIDEN, 2022-2024 BUKAN WAKTUNYA MEMINDAHKAN IBUKOTA" di Change.org (Foto: capture Change.org)

POPNEWS.ID - Sebanyak 45 tokoh nasional menggalang dukungan dan membuat petisi online di Change.org. Petisi itu berkaitan dengan penolakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Petisi itu berjudul: "Dukung Suara Rakyat: PAK PRESIDEN, 2022-2024 BUKAN WAKTUNYA MEMINDAHKAN IBUKOTA"

Penggagas petisi adalah Narasi Institute. Hingga Senin (7/2/2022) petisi itu telah mendapat dukungan dan ditandatangani 13 ribu orang.

"Kami, para inisiator mengajak seluruh warga negara Indonesia untuk mendukung ajakan agar Presiden menghentikan rencana pemindahan dan pembangunan Ibu kota Negara di Kalimantan," demikian tertulis pada paragraf pertama petisi yang mulai muncul pada 4 Februari 2022 lalu.

Dalam petisi itu disebutkan bahwa memindahkan Ibu kota Negara (IKN) di tengah situasi pandemi Covid-19 tidak tepat.

Berikut ini isi petisi tersebut.


Pemkot Samarinda ucapkan Selamat Tahun Baru Imlek 2022

Dukung Suara Rakyat: PAK PRESIDEN, 2022-2024 BUKAN WAKTUNYA MEMINDAHKAN IBUKOTA

Kami, para inisiator mengajak seluruh warga negara Indonesia untuk mendukung ajakan agar Presiden menghentikan rencana pemindahan dan pembangunan Ibu kota Negara di Kalimantan.

Memindahkan Ibu kota Negara (IKN) di tengah situasi pandemi Covid-19 tidak tepat.

Apalagi kondisi rakyat dalam keadaan sulit secara ekonomi sehingga tak ada urgensi bagi pemerintah memindahkan ibu kota negara.

Terlebih, saat ini pemerintah harus fokus menangani varian baru omicron yang membutuhkan dana besar dari APBN dan PEN.

Pembangunan Ibu Kota Negara di saat seperti ini hendaknya dipertimbangkan dengan baik, saat ini Indonesia memiliki utang luar negeri yang besar, defisit APBN besar diatas 3% dan pendapatan negara yang turun.

Adalah sangat bijak bila Presiden tidak memaksakan keuangan negara untuk membiayai proyek tersebut. Sementara infrastruktur dasar lainnya di beberapa daerah masih buruk, sekolah rusak terlantar dan beberapa jembatan desa terabaikan tidak terpelihara.

Proyek pemindahan dan pembangunan ibu kota negara baru tidak akan memberi manfaat bagi rakyat secara keseluruhan dan hanya menguntungkan segelintir orang saja.

Karena itu, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta merupakan bentuk kebijakan yang tidak berpihak secara publik secara luas melainkan hanya kepada penyelenggara proyek pembangunan tersebut.

Penyusunan naskah akademik tentang pembangunan Ibu Kota Negara Baru tidak disusun secara komprehensif dan partisipatif terutama dampak lingkungan dan daya dukung pembiayaan serta keadaan geologi dan situasi geostrategis di tengah pandemi.

Lokasi yang dipilih berpotensi menghapus pertanggungjawaban kerusakan yang disebabkan para pengelola tambang batubara. Tercatat ada sebanyak 73.584 hektare konsesi tambang batu bara di wilayah IKN yang harus dipertanggungjawabkan.

Pertanyaan besar publik adalah benarkah kepentingan pemindahan ibukota baru adalah untuk kepentingan publik.

Kami memandang saat ini bukanlah waktu yang tepat memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Pasir Utara Kalimantan Timur.

Kami mengajak segenap anak bangsa yang peduli akan masa depan Bangsa dan Kedaulatan Bangsa untuk menandatangani di change.org

Terimakasih

Organized by Narasi Institute

Achmad Nur Hidayat (CEO dan Co-Founder Narasi Institute)

(Kontak Personal : +62 811-975-643)

INISIATOR

1. Prof. Dr. Sri Edi Swasono

2. Prof. Dr. Azyumardi Azra

3. Prof. Dr. Din Syamsuddin

4. Dr. Anwar Hafid

5. Prof. Dr. Nurhayati Djamas

6. Prof. Dr. Daniel Mohammad Rasyied

7. Mayjen Purn Deddy Budiman

8. Prof. Dr. Busyro Muqodas

9. Faisal Basri MA

10. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri

11. Prof. Dr. Widi Agus Pratikto

12. Prof. Dr. Rochmat Wahab

13. Jilal Mardhani

14. Dr. Muhamad Said Didu

15. Dr. Anthony Budiawan

16. Prof Dr. Carunia Mulya Firdausy

17. Drs. Mas Ahmad Daniri MA

18. Dr. TB. Massa Djafar

19. Abdurahman Syebubakar

20. Prijanto Soemantri

21. Prof Syaiful Bakhry

22. Prof Zaenal Arifin Hosein

23. Dr. Ahmad Yani

24. Dr. Umar Husin

25. Dr. Ibnu Sina Chandra Negara

26. Merdiansa Paputungan SH, MH

27. Nur Ansyari SH, MH

28. Dr. Ade Junjungan Said

29. Dr. Gatot Aprianto

30. Dr. Fadhil Hasan

31. Dr. Abdul Malik

32. Achmad Nur Hidayat MPP

33. Dr. Sabriati Aziz M.Pd.I

34. Ir. Moch. Najib YN, MSc

35. Muhamad Hilmi

36. Dr.Engkur, SIP, MM

37. Dr. Marfuah Musthofa

38. Dr. Masri Sitanggang

39. Dr. Mohamad Noer

40. Ir. Sritomo W Soebroto MSc

41. M. Hatta Taliwang

42. Prof Dr. Mas Roro Lilik Ekowanti, MS

43. Reza Indragiri Amriel

44. Mufidah Said SE MM

45. Ramli Kamidin

Petisi Pertama Penolakan IKN


Petisi Pakta Integritas Pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin atas Proyek IKN

Petisi penolakan rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) melalui platform digital bukan pertama kali itu saja.

Sebelumnya, pada 18 Januari 2022 lalu, terbit pula sebuah petisi dengan inti yang sama, menolak pemindahan IKN.

Petisi itu diterbitkan oleh 4 tokoh nasional yang juga tercantum di dalam Petisi penolakan IKN kedua di Februari 2022.

Petisi pertama penolakan pemindahan IKN itu bertajuk "Petisi Pakta Integritas Proyek Pemindahan IKN."

Petisi ini muncul di laman change.org pada 18 Januari 2022. Hingga Senin 7 Februari 2022, petisi itu telah ditandatangani 7.981 orang.

Berikut kutipan petisi tersebut.

Petisi Pakta Integritas Pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin atas Proyek IKN

Pemindahan ibu kota Negara Republik Indonesia bukan lagi sekedar gagasan. Tapi sudah dilaksanakan sejak periode kedua Kepresiden Joko Widodo dimulai pada tahun 2019 lalu.

Tahun 2022 ini, untuk hal tersebut, DPR telah menyetujui alokasi anggaran sebesar Rp 12 triliun. Bagian dari cicilan Negara atas 20% porsi pembiayaan yang dicanangkan pemerintah. Dari Rp 600 triliun yang diperkirakan akan dibelanjakan untuk memindahkan ibu kota Negara ke Kalimantan Timur.

DPR telah mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara. Siang hari ini, 18 Januari 2022, secara resmi telah pula mereka sahkan. Undang-undang tersebut tentu saja menjadi dasar hukum yang memayungi keinginan itu.

Tapi penyelenggaraan gagasan pemindahan ibu kota sejatinya bukan hanya menelan biaya yang sangat mahal. Maka sepatutnya tak dilakukan secara tergesa-gesa. Terlebih di tengah situasi tak menentu yang kita alami akibat pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama 2 tahun belakangan.

Konsekuensi kebijakan tersebut akan merambah ke berbagai aspek. Tak sekedar berpengaruh terhadap skala prioritas yang berdimensi lokal (regional). Melainkan mencakup hal-hal yang perlu dipertimbangkan matang dalam konstelasi strategis Nasional. Termasuk konteks percaturan dan pergaulan bangsa kita dengan negara-negara lain yang direprentasikan Ibu Kota Negara.

Maka pemindahan Ibu Kota Negara sudah barang tentu tak sesederhana gagasan membangun kota mandiri seperti yang dulu dicanangkan pada Bumi Serpong Damai, misalnya. Hunian yang di kemudian hari terbukti, sebagaimana kita saksikan sekarang, hanya merupakan kepentingan bisnis properti yang dikuasai sejumlah pihak. Sebab pada akhirnya hanya menjadi kota satelit yang dihuni masyarakat yang sehari-hari tetap membebani dan beraktivitas di Jakarta. Sebagaimana yang semula dikhawatirkan sebagian kalangan yang pada tahun 1980-an itu, mengkritisinya.

Masalah utama gagasan dan keinginan memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur tersebut, justru pada keterbukaan informasi dan pelibatan masyarakat dalam prosesnya. Hal yang perlu dan sepatutnya didasari pertimbangan yang dapat dijelaskan dan dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Sehingga menjadi keniscayaan yang dimaklumi seluruh bangsa Indonesia.

Dengan kata lain, hal tersebut sepatutnya bukanlah buah pemikiran yang sembrono. Atau hanya berdasarkan kepentingan sempit. Apalagi partisan. Tapi justru beralaskan pertimbangan matang yang melalui kajian menyeluruh dan terpadu. Sehingga manfaatnya diyakini semua pihak lebih besar dibanding mudarat. Bukan pula dilatar-belakangi hasrat yang sekedar ingin menghadirkan sensasi dan gagah-gagahan. Atau dalam rangka mengalihkan perhatian masyarakat luas dari persoalan yang jauh lebih besar yang sesungguhnya sedang dihadapi bangsa ini.

Naskah akademik yang memadai dan dapat dipertanggung jawabkan terhadap sejumlah pertanyaan mendasar yang mengemuka dibalik gagasan tersebut, tentu sangat dibutuhkan. Sebagaimana kelaziman proses yang mestinya dilalui sebelum suatu undang-undang disahkan. Bagaimana pun, resiko kerugian Negara atas pembiayaan raksasa yang akan dikeluarkan, perlu dicermati dan diperhitungkan dengan seksama. Karena hal tersebut, sebagaimana resiko-resiko lain yang juga bakal kita hadapi sebagai bangsa berdaulat, pada kenyataannya memang tidak atau belum tercakup dalam undang-undang yang disahkan tadi. Apalagi jika kemudian, karena satu dan lain hal, kelanjutan pelaksanaan pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara itu dihentikan. Melalui keputusan yang tentunya dilakukan secara konstitusional juga. Kini maupun di masa mendatang.

Berbagai resiko tersebut sangat mungkin terjadi. Termasuk melalui celah gugatan konstitusionalitas undang-undang yang menaungi Ibu Kota Negara tersebut. Sebagaimana yang telah terjadi atas UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja kemarin.

Keniscayaan naskah akademik yang memadai dan dapat dipertanggung jawabkan kepada kalangan luas, setidaknya mampu menjelaskan dan menjawab pertanyaan paling mendasar terkait gagasan tersebut:

"Mengapa ibu kota harus dipindahkan dari Jakarta?"

Lebih jauh lagi, berbagai alasan yang kerap mengemuka terkait maksud penyelenggaraan kehidupan kota yang ramah lingkungan, menyajikan pelayanan prasarana dan sarana publik terbaik, tertib, dan indah -- misalnya -- merupakan persoalan yang hampir merata di seluruh Tanah Air kita.

Maka pertanyaannya adalah:

"Sejauh mana percontohan yang ingin diselenggarakan pada ibu kota Negara yang baru di Kalimantan Timur itu, mampu menggerakkan perubahan dan pemerataan kualitas kehidupan serupa, di kota-kota Indonesia lainnya?"

Bagaimana pun, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk membiayai penyelenggaraan ibu kota Negara yang baru, baik langsung maupun tidak langsung, akan menggunakan pajak yang dikumpulkan dari seluruh rakyat Indonesia. Juga berpotensi mempengaruhi prioritas pembiayaan yang sesungguhnya dibutuhkan wilayah-wilayah lain yang tersebar di seluruh Indonesia.

Gagasan yang sangat terburu-buru dan terkesan sembrono itu, juga tak menjawab pertanyaan lainnya. Terkait keniscayaan perkembangan kehidupan kita di muka bumi hari ini:

"Apa sesungguhnya yang paling perlu dan mendesak dilakukan, agar ibu kota dapat menyempurnakan penyelenggaraan fungsinya bagi seluruh republik, sejalan dengan peluang yang disajikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah demikian memampukan?"

Kita semua menyadari telah berada di tengah Revolusi Industri 4.0 yang bercirikan digitalisasi konektivitas, dan di ambang Revolusi Industri 5.0 yang bercirikan personalisasi kehidupan di tengah dunia yang maya. Satu hal yang wajib digaris-bawahi dari kedua revolusi tersebut adalah, kehidupan sehari-hari manusia yang sedang menuju pembebasan diri dari keterbatasannya secara fisik maupun kecerdasan.

Oleh karena itu, pertanyaan berikutnya yang perlu juga dipertanggung jawabkan terkait pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur tersebut, adalah:

"Sejauh apa dan bagaimana gagasan ibukota Negara yang sedang dikembangkan tersebut, mampu menjawab dan menghadapi tantangan masa depan yang sudah di pelupuk mata itu?"

Mengingat resiko besar yang harus dihadapi dan ditanggung bangsa di masa depan, seandainya segala upaya dan pembiayaan membangun gagasan ibukota Negara kelak berujung sia-sia, karena tak mengindahkan kelaziman yang sebagian di antaranya telah diuraikan di atas, maka kami menyampaikan petisi di bawah ini:

"Memohon dan meminta kesediaan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, menanda-tangani pernyataan terbuka yang berisi kesediaan bertanggung-jawab terhadap keberlanjutan proyek tersebut. Jika karena satu dan lain hal, pelaksanaannya kelak dihentikan, terpaksa berhenti, atau tak mampu dilanjutkan lagi, maka bersedia untuk mengakuinya sebagai kekonyolan yang pernah dilakukan karena tak bersedia mendengar pendapat lain yang bertentangan. Juga merupakan sikap dan cara memimpin dan mengelola Negara yang tak patut ditiru oleh siapa pun."

Kami menyampaikan petisi ini secara terbuka dan mengajak serta masyarakat luas yang ingin menyuarakan hal yang sama dan ingin mendukungnya.

Jakarta, 18 Januari 2022

INISIATOR,

1. Jilal Mardhani

2. Prof. Azyumardi Azra

3. Agus Pambagio

4. Faisal Basri MA

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
POPentertainment