POPNEWS.ID - Bisnis prostitusi atau yang di era digital dikenal dengan istilah Open BO, ditemukan di semua kota di Indonesia.
Open BO diklaim meningkat sejak era pandemi Covid-19.
Tarif untuk mendapatkan layanan seksual di berbagai kota di Indonesia pun bervariatif.
Berdasarkan kajian yang dilakukan CNBC Indonesia Intelligence Unit, pada 59 akun Twitter penyedia jasa layanan seks untuk mengetahui tarif open BO.
Akun Twitter yang dipilih rata-rata memiliki 3.793 pengikut.
Dari survei ini, didapat gambaran rata-rata tarif sekali open BO per jam Rp 1.117.000 untuk sekali senggama atau maksimal satu jam.
Dan long time atau 24 jam sebesar Rp 13.541.000 untuk bercinta sepuasnya.
Tarif jam-jaman di Jakarta sekitar Rp 1 juta dan tertinggi di Yogyakarta hampir Rp 1,4 juta.
Tarif ini bisa dikatakan mengalami inflasi hingga 300 persen lebih dalam satu dekade terakhir, berdasarkan riset serupa yang pernah dipublikasikan oleh Bloomberg Businessweek Indonesia pada 2012.
Berikut tarif open BO atau layanan seks di sejumlah kota Indonesia:
Kota Short Time (1 jam atau maksimal 1 kali ejakulasi) Long Time (24 jam, bebas)
- Nasional Rp 1.117.000 Rp 13.541.000
- Yogyakarta Rp 1.375.000 Rp 14.250.000
- Bandung Rp 1.218.000 Rp 9.333.000
- Jakarta Rp 1.047.000 Rp 8.845.000
- Surabaya Rp 966.000 Rp 13.000.000
- Lampung Rp 950.000 Rp 14.000.000
Perlu diingat, tarif itu berlaku untuk sekali layanan.
Bila penyedia jasa mampu melayani 2-4 orang per hari, dapat dibayangkan seberapa banyak penghasilan yang ia dapatkan.
Tak ayal cara ini banyak dipakai gadis-gadis muda yang ingin mendapatkan uang secara cepat.
Hal itu dilakukan Cha, seorang penyedia layanan seks via Twitter.
Dia mengaku bisa meraup pendapatan hingga Rp 50 juta per bulan dari open BO.
Merangkum pengalaman pribadi dan teman-temannya, Cha mengatakan ada dua faktor pemicu yang mendorong mereka terjebak dalam industri esek-esek ini.
Pertama karena tak punya cukup uang yang untuk memenuhi kebutuhan dasar sementara mencari pekerjaan sulit.
Kemudian kedua karena terjebak dalam gaya hidup tinggi seperti staycation, liburan, perawatan, hingga biaya dugem di klub malam.
Sementara itu, kajian Sri Hartini Jatmikowati (2015) pada Mediterranean Journal of Social Sciences menemukan faktor lain yang membuat perempuan muda terjebak prostitusi.
Diantaranya, kurangnya dialog dan keterbukaan dengan orang tua, pergaulan, kurang perhatian dari orang tua, depresi dan kehilangan harga diri.
Peningkatan tren bisnis esek-esek rupanya juga didorong perkembangan pesat wisata seks yang menjadi fenomena global.
Menurut Asian Labour Journal, Indonesia menjadi tujuan utama, khususnya anak-anak di bawah umur bagi turis asing dan lokal.
Diperkirakan, sekitar 100 ribu anak dan perempuan diperbudak oleh germo setiap tahun untuk memasok kebutuhan wisata seks, di mana 30 persen diantaranya berusia di bawah 18 tahun. (*)