Jumat, 22 November 2024

Berita Samarinda Terkini

Andi Harun Beber Masalah Sulitnya Menindak Illegal Mining di Samarinda

Pasca Pengambilahan Kewenangan Pertambangan Oleh Pusat

Sabtu, 11 Desember 2021 20:45

Wali Kota Samarinda, Andi Harun, ketika menjadi narasumber dalam Diskusi dengan tema "Problematika Penegakan Hukum terhadap Tambang Ilegal yang Kian Menjamur", Sabtu 12 Desember 2021. (Foto: Dok)

POPNEWS.ID - Persoalan pertambangan, khususnya batubara, di Samarinda dan Kalimantan Timur (Kaltim) seolah tak pernah habis. Eksploitasi sumber daya alam (SDA) ini kemudian membuat Kaltim dirundung pelbagai persoalan berkepanjangan. Termasuk di dalamnya persoalan tambang ilegal atau illegal mining.

Persoalan tersebut menjadi tema diskusi virtual para praktisi dan mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Sabtu 11/12/2021, siang tadi. Diskusi yang bertajuk "Problematika Penegakan Hukum terhadap Tambang Ilegal yang Kian Menjamur" itu menghadirkan Wali Kota Samarinda Andi Harun sebagai pembicara. Dalam paparannya, Wali Kota Andi Harun merinci sejumlah persoalan penindakan illegal mining dan kerusakan lingkungan.

Menurut Andi Harun, upaya penindakan tersebut cukup sulit dilakukan, bahkan oleh pemerintah pusat. Persoalan pertama, menurut Andi Harun, adalah luasan pertambangan yang tersebar di Indonesia yang mencapai angka 8.713.167,58 juta hektare. Data tersebut, menurut Andi Harun, muncul dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI beberapa waktu sebelumnya.

"Respon pemerintah melalui Kementerian ESDM, sebagaimana yang disampaikan Sunindyo sebagai Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara, Ditjen Minerba, jika pemerintah mengakui kewalahan (menangani problematika pertambangan)," ujar Andi Harun yang mengikuti diskusi tersebut secara virtual.

Dampak dari persoalan itu, menurut Andi Harun, pemerintah kemudian melakukan penguatan pada Perubahan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Dalam UU tersebut, tercantun aturan denda hingga Rp100 miliar dan pidana 5 tahun penjara. Persoalan lainnya, imbuh Andi Harun, adalah adanya beberapa pasal yang dihilangkan dalam aturan UU Minerba terbaru.

Andi Harun mengaku miris sebab perubahan itu menjadi titik kelemahan lainnya dalam regulasi pertambangan yang saat ini dipegang penuh oleh pemerintah pusat. Andi Harun mencontohkan, pasal 165 UU Minerba yang dihapus. Padahal, isi pasal itu mengatur dan menindak perbuataan yang melanggar (menyalanggunakan) kewenangan (pejabat dalam pemberian izin pertambangan).

Karena itu, pengambilalihan regulasi pertambangan oleh pemerintah pusat, menurut Andi Harun sangat menyulitkan daerah dalam penindakan dan pemberian sanksi bagi para pelaku ilegal minning.

Andi Harun berpendapat, faktor hukum yang mengedepankan asas ultimum remidium (hukum pidana menjadi jalan terakhir) kurang tepat sasaran. Alasan Andi Harun, asas ultimum remidium mengedepankan sanksi administrasi. Bagi pelaku tambang ilegal, hukum itu akan mengurangi tanggung jawab terhadap jejak aktivitas pertambangannya.

"Tinggal melakukan penutupan void galian maka otomatis terbebas dari jerat pidana. Seharusnya hukum yang ada itu mengedepankan asas premium remidium yang mengedepankan tindak pidana. Karena pertambangan ini tentu berdampak sangat panjang dan menyengsarakan rakyat, oleh karena itu harus mengedepankan (asas) premium remedium," ujar mantan legislator Karang Paci ini tandas.

Persoalan dalam penegakan hukum di sektor pertambangan juga berkaitan dengan jumlah inspektur pertambangan. Andi Harun menyatakan agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus menambah para inspektur pertambangan.

"Penambahan inspektur tambang itu penting. Tapi yang tidak kalah penting adalah keseriusan semua pihak meminimalisir dan bekerja sama menekan laju illegal mining," ujar Andi Harun.

Akademisi Hukum Unmul, Haris Retno, yang menjadi narasumber dalam diskusi tersebut, menanggapi beberapa pernyataan Andi Harun. Haris Retno menyatakan, tindakan dan langkah konkret Pemkot Samarinda menutup dua konsesi yang diduga ilegal di Kota Tepian, layak mendapatkan apresiasi.

Namun, menurut Haris Retno, langkah Pemkot Samarinda melakukan penutupan dua konsesi tambang batubara itu belumlah cukup. Pasalnya, menurut Haris Retno, dari data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, puluhan konsesi pertambangan masih memerlukan upaya serius dari pemerintah.

"Karena menurut data dari LSM Jatam, sedikitnya ada 20 konsesi pertambangan di Samarinda yang membutuhkan langkah serius pemerintah daerah," ujar Haris Retno.

Meski begitu, Haris Retno mengakui bahwa pengambilalihan kewenangan pertambangan oleh pemerintah pusat menjadi kesulitan daerah. Akan tetapi, Retno menegaskan jika hal tersebut tidak boleh menjadi dalil pembenaran jika pemerintah daerah membiarkan begitu saja keselamatan rakyat.

"Masyarakat pun dengan tegas menolak. Tapi apa, yang didapat justru ancaman dan intimidasi dari para pelaku illegal mining. Kewenangan ditarik ke pusat jangan menjadi dalih tidak melindungi masyarakatnya. Pun demikian dengan pemerintah pusat. Keselamatan rakyat itu urusan wajib. Ini hanya soal kemauan pemerintah hadir bersama rakyat dan ini harus menjadi catatan pemerintah," ujar Haris Retno. (Red)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Berita terkait
POPentertainment