POPNEWS.ID - Jika tak ada kendala, Prabowo Subianto akan dilantik menjadi Presiden ke 8 Indonesia pada Oktober 2024 mendatang.
Sosok Ketua Umum Partai Gerindra ini pun jadi perhatian karena akhirnya bisa memenangkan pemilihan presiden setelah ikut serta selama 4 kali.
Hampir semua orang mengenal sosok Prabowo Subianto.
Lantas, bagaimana dengan sosok ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo?
Ayah Prabowo juga pernah mengabdi untuk Indonesia.
Pernah pula dicap sebagai pemberontak.
Bagaimana kisah sebenarnya?
Soemitro, lahir pada tanggal 29 Mei 1917, adalah seorang ekonom dan politikus yang memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, terutama dalam konteks pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
Soemitro merupakan anak Raden Mas Margono Djojohadikusumo, yang merupakan pendiri Bank Negara Indonesia, Ketua DPAS pertama, dan anggota BPUPKI.
Soemitro meninggal pada tahun 2001 dengan meninggalkan empat orang anak, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.
Prabowo Subianto merupakan anak ketiga dari Soemitro.
Sebagai seorang ekonom paling terkemuka pada masanya, Soemitro pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri, menteri Keuangan, dan Menteri Riset, baik selama orde baru maupun orde lama.
Diketahui bahwa Soemitro berasal dari keluarga ningrat dari Jawa, sebagai anak sulung dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo.
Dirinya menempuh pendidikan di Universitas Sorbonne, Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda.
Pada tahun 1946, dirinya pulang ke Indonesia dan diangkat sebagai staf oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Lalu, dirinya juga bergabung dengan partai sosialis yang dipimpin oleh Sjahrir bernama Amir Sjarifuddin.
Saat Perang Dunia 2 berakhir, Soemitro ikut serta dalam delegasi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di Amerika Serikat.
Di dalam misi ini, Soemitro memiliki peran untuk menggalang dana internasional demi kemerdekaan Indonesia.
Bahkan, dirinya juga pernah menjabat sebagai direktur utama Banking Trading Center (BTC) dan sempat menjadi kuasa Republik Indonesia di Washington.
Tak ketinggalan, Ayah Prabowo ini juga ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar dan setelah itu bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia.
Pada era Soekarno, Soemitro menjabat sebagai Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dan Menteri Negara Riset.
Selama orde lama, Soemitro adalah salah satu menteri yang mendukung masukknya investor dan modal asing ke Indonesia.
Oleh sebab itulah, Soemitro ditekan oleh Soekarno dan politisi-politisi Partai Komunis Indonesia di era Djuanda, yang menyebabkan dirinya bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera.
Peran penting Soemitro dalam PRRI dilakukannya dari luar negeri, yaitu dengan aktif menggalang dana dan dukungan luar negeri.
Selama masa pemerintahan Kabinet Djuanda, Presiden Soekarno secara terang-terangan berselisih pandangan dengan ekonom-ekonom yang mendapatkan pendidikan di lembaga-lembaga "barat," termasuk Soemitro.
Dalam konteks ini, Soekarno mendapat dukungan dari Partai Komunis Indonesia yang dipimpin oleh D.N. Aidit.
Aidit menuduh bahwa Soemitro mendukung "imperialisme dan feodalisme," sambil berpegang pada pandangan bahwa kebijakan ekonomi pro-investor yang diusulkan oleh Soemitro tidak sejalan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat Indonesia yang pada saat itu didominasi oleh penduduk pedesaan.
Aidit menyalahkan kemiskinan di Indonesia pada pihak-pihak asing, kapitalis, dan pemilik tanah yang mencari keuntungan ekonomi tanpa pertimbangan, bukan disebabkan oleh kurangnya investasi domestik seperti yang dianggap oleh Soemitro.
Soemitro sendiri dikritik karena memberi izin bagi pihak-pihak kapitalis asing untuk masuk ke Indonesia.
Sehingga, pada 16 Februari 1858, Soekarno memerintahkan untuk menangkap tokoh-tokoh PRRI, termasuk Soemitro.
Setelah PRRI berhasil ditumpaskan, sampai tahun 1967 Soemitro tidak pulang ke Indonesia.
Setelah Soeharto menjabat sebagai presiden, Soemitro diundang kembali ke Indonesia dan diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri. (*)