KaltimRegional

Dewas Dua RSUD Kaltim Dijabat Akademisi dari Luar Daerah, Picu Polemik Karena Abaikan Potensi Lokal 

POPNEWS.ID –  Dua akademisi asal Sulawesi Selatan belakangan diketahui menjabat sebagai Dewan Pengawas (Dewas) di dua rumah sakit besar milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).



Penunjukan dua akademisi tersebut belakangan ini jadi sorotan tajam publik karena dianggap mencederai semangat keadilan daerah dan mengabaikan potensi sumber daya manusia lokal yang tidak kalah kompeten.

Polemik mencuat setelah publik mengetahui dua nama yang berasal dari luar daerah, yakni Dr. Syahrir A. Pasiringi dan Dr. Fridawaty Rivai, tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur Kaltim Nomor 100.3.3.1/K/94/2025 tentang Pengangkatan Dewan Pengawas dan Sekretaris Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dan RSUD Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan untuk masa jabatan 2025–2030.

Meski sebagian besar anggota Dewas berasal dari Kaltim, kehadiran dua akademisi berdomisili Makassar itu menimbulkan pertanyaan besar mengenai dasar penunjukan dan mekanisme seleksi yang ditempuh pemerintah provinsi.

Salah satu suara paling keras datang dari Sudarno, pengamat media sosial sekaligus mantan juru bicara tim pemenangan pasangan Rudy–Seno.

Ia menilai penunjukan Dewas dari luar daerah merupakan langkah yang tidak sensitif terhadap potensi putra daerah.

“Bagaimana bisa mengawasi rumah sakit di Samarinda atau Balikpapan kalau orangnya tidak berdomisili di Kaltim?” ujar Sudarno.

Menurutnya, masih banyak akademisi dan profesional lokal yang memiliki kompetensi dan pemahaman mendalam terhadap konteks pelayanan publik di Kaltim.

“Kalau yang dipilih orang luar, otomatis uangnya juga tidak berputar di daerah. Padahal banyak tenaga ahli dari Kaltim sendiri yang mumpuni. Ini seolah-olah warga Kaltim tidak punya kemampuan,” ujarnya menambahkan.

Sudarno juga menyinggung dugaan kedekatan personal antara pihak yang ditunjuk dengan lingkungan keluarga pejabat provinsi.

“Kita tahu mereka dosen dari adik gubernur, tapi penunjukan jabatan publik seharusnya tidak berdasarkan kedekatan, melainkan pada prinsip profesionalitas dan keadilan,” tegasnya.

Kritik serupa disampaikan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman (Unmul), Dr. Iwan Muhammad Ramdan, S.Kp., M.Kes., yang menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi.

Menurutnya, proses pengangkatan Dewas RSUD seharusnya mengacu pada Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dan PP Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahsakitan.

“Pengangkatan Dewas tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus ada mekanisme seleksi yang transparan dan sesuai peraturan. Pengajuan calon seharusnya dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan sebagai pemilik perangkat daerah, bukan langsung dari rumah sakit,” jelas Iwan.

Ia juga mempertanyakan alasan penunjukan dua figur dari luar daerah untuk jabatan strategis di lebih dari satu rumah sakit daerah.

“Dewas seharusnya memahami konteks dan masalah kesehatan lokal. Kalau berasal dari luar Kaltim, bagaimana memahami karakteristik pelayanan dan kebutuhan masyarakat di sini?” katanya.

Iwan menegaskan bahwa pengangkatan Dewas mestinya menjadi contoh penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, bukan justru menimbulkan kecurigaan publik.

Pandangan lebih teknis datang dari Saipul Bachtiar, pengamat kebijakan publik Universitas Mulawarman. Ia menilai keputusan Pemprov Kaltim perlu dievaluasi dari sisi prinsip good governance.

“Setiap kebijakan pemerintah, apalagi menyangkut jabatan publik, harus akuntabel dan transparan. Itu dasar dari tata kelola pemerintahan yang baik,” ujarnya.

Saipul menyoroti bahwa posisi Dewas rumah sakit memiliki peran penting dalam pengawasan layanan publik, terutama di tengah sorotan terhadap mutu pelayanan RSUD di Kaltim.

“Rumah sakit adalah wajah pelayanan publik yang paling dekat dengan masyarakat. Dewas harus fokus pada peningkatan mutu pelayanan, pembiayaan, hingga persoalan klasik seperti antrean panjang pasien dan pelayanan BPJS,” ujarnya.

Menurut Saipul, komposisi Dewas seharusnya diisi oleh sosok dengan beragam latar belakang keahlian, tidak hanya dari bidang kesehatan.

“Pengawas harus paham aspek pelayanan publik, manajemen keuangan, dan etika tata kelola. Jadi bukan hanya soal teknis medis, tapi juga bagaimana memastikan rumah sakit melayani publik dengan baik,” terangnya.

Desakan agar Pemprov Kaltim membuka proses seleksi Dewas secara transparan kini semakin menguat. Publik menilai langkah ini penting untuk memastikan jabatan strategis di lembaga pelayanan publik tidak diwarnai praktik nepotisme maupun konflik kepentingan.

Saipul menambahkan, ke depan pemerintah daerah perlu melibatkan unsur akademisi lokal dan masyarakat sipil dalam proses seleksi Dewas agar hasilnya kredibel dan dapat diterima semua pihak.

“Jabatan publik bukan hak prerogatif yang bisa dibagi-bagi. Ini menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kalau prosesnya tertutup, maka muncul persepsi negatif,” tegasnya.

Ia berharap Gubernur Kaltim dapat meninjau kembali keputusan tersebut dan memberikan penjelasan terbuka kepada publik.

“Kaltim punya banyak akademisi dan profesional hebat. Jangan biarkan kepercayaan masyarakat runtuh hanya karena kesan pilih kasih,” pungkasnya.

Gelombang reaksi masyarakat di media sosial menunjukkan kuatnya aspirasi agar pemerintah daerah lebih berpihak kepada potensi lokal. Beberapa warganet menilai, penunjukan pejabat publik dari luar daerah tanpa alasan rasional hanya akan memperlemah semangat kemandirian daerah.

Mereka menuntut agar jabatan strategis seperti Dewan Pengawas rumah sakit provinsi diisi oleh orang yang benar-benar memahami kondisi sosial dan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat Kaltim.

“Putra daerah juga berhak mendapat kepercayaan. Jangan sampai Kaltim seperti hanya jadi penonton di rumah sendiri,” tulis salah satu komentar yang viral di platform X (Twitter). (*)

Show More
Back to top button