Keahlian mengukur karakter seseorang masih jadi objek riset sampai saat ini. Hasil studi terhadap seseorang yang bisa melaksanakan penilaian yang baik tercatat di tahun 1927.
Henry F. Adams, psikolog berkebangsaan Amerika Serikat, merilis hasil identifikasi Penilai yang baik.
Metode identifikasi kepribadiaan seorang yang dicoba Henry F. Adams dengan melakukan uji pada 8 kelompok. Di dalamnya, tiap-tiap kelompok berisi 10 orang wanita yang saling kenal.
Uji tersebut mewajibkan mereka menilai karakter yang lain. Tes itu juga mewajibkan mereka memperhitungkan karakter diri sendiri.
Dari hasil rata-rata nilai setelah diolah Henry F. Adams, timbul hasil Penilai yang baik pada orang lain tidak senantiasa menyenangkan.
Bagi Henry F. Adams, kendati secara mental lincah, penilai yang baik pada orang lain,”gampang tersinggung, mudah marah, muram, serta tidak memiliki keberanian,” ucap Henry F. Adams yang dirilis BBC.
Henry F. Adams merumuskan di dalam teorinya, Penilai yang baik pada karakter orang lain merupakan individu yang egosentris. Sebabnya, mereka memandang orang lain sebatas perlengkapan atau alat untuk menggapai tujuan mereka.
Hasil berbeda timbul buat penilai yang baik pada diri sendiri. Henry F. Adam merumuskan mereka yang memperhitungkan diri mereka sendiri dengan baik, diakui bijak, sopan, serta terkenal.
Mereka cenderung tertarik terhadap cara untuk lebih melayani orang lain, tidak hanya dirinya.
Riset yang lain berjalan di tahun 1950-an. Kritik pada metode mengenali penilai yang baik juga bermunculan.
Para periset tadinya diakui bukan pada makna Penilai yang baik. Tetapi hasil riset tahun ini malah meragukan konsep penilai yang baik.
Mereka mengartikan penilai yang baik merupakan keahlian untuk membaca karakter. Di sisi yang lain, mereka diakui cuma sekedar mengamati keahlian lain seperti membaca tabiat emosi ataupun menduga-duga kebohongan.
Perihal tersebut diakui sesuatu kesalahan gara-gara fakta yang memperlihatkan keduanya merupakan keahlian yang tidak seragam.
Itu merupakan kritik dari Rogers serta Biesanz yang menerangkan kalau para periset melupakan kedudukan kala mengenali karakter. Tidak sekadar ada penilai yang baik, tetapi pula mesti mengerti Sasaran yang baik.
Walaupun begitu, hasil studi keduanya merumuskan kalau penilai yang baik memanglah ada. Tetapi studi tersebut mesti dibarengi bersama dengan studi kepada sasaran yang baik.
Ibarat meningkatkan buku kalkulus kepada mahasiswa umum yang tidak mengerti konsepnya. Begitu mereka mengasosiasikan. (Redaksi)