POPNEWS.ID - Dunia yang kita diami ini sudah melalui berbagai bencana besar yang sebelumnya tak terbayangkan.
Mulai wabah penyakit, gempa bumi super dahsyat, hingga letusan gunung berapi.
Bahkan, beberapa diantara bencana super dahsyat tersebut mengubah tatanan dunia.
Setidaknya, ada lima bencana alam super besar yang membuat dunia berubah.
Apa saja?
5 Bencana Terbesar di Dunia
1. Maut Hitam (1346–1353)
Maut Hitam (Black Death) adalah pandemi (wabah) yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis dan menyebar di Eurasia pada pertengahan Abad ke-14. Wabah itu menyebabkan kematian 60 persen populasi Eropa dan Asia, setara dengan 75 hingga 200 juta orang.
Wabah itu diduga bermula dari padang belantara Asia Tengah dan terbawa ke Eropa melalui Jalur Sutra ke Crimea, kemudian menyebar melalui kutu tikus yang ada pada tikus-tikus hitam.
Tikus-tikus itu seringkali menjadi penumpang tidak diundang pada kapal-kapal dagang.
Ramainya perdagangan membuat wabah itu sulit dimusnahkan dan muncul wabah-wabah setempat hingga 5 abad kemudian. Wabah itu juga membawa keguncangan sosial dalam gereja Kristen.
Ada beberapa kelompok yang dituding menjadi penyebabnya, termasuk kaum Yahudi, pengemis, penderita lepra, biarawan, peziarah dan kaum Romani. Orang-orang berpenyakit kulit semisal lepra dituduh dan dimusnahkan dengan penuh dendam.
Demikan juga dengan selentingan bahwa kaum Yahudi mencemari sumur-sumur di seluruh Eropa. Pada Februari 1439, sebanyak 2000 kaum Yahudi dihukum mati di Strasbourg oleh warga yang penuh amarah.
Banyak warga Yahudi di Cologne dan setidaknya 200 komunitas Yahudi lainnya yang dimusnahkan saat itu oleh mereka yang terjebak dalam dendam keagamaan.
2. Erupsi Kuwae (1452–1453)
Kuwae adalah volkano dan kaldera bawah laut di Vanuatu yang terletak di salah satu kawasan gunung berapi paling aktif di dunia. Banyak terjadi erupsi bawah laut di sana.
Kadang-kadang, letusannya sampai menembus permukaan laut sehingga meninggalkan bekas berupa pulau-pulau kecil yang perlahan tenggelam kembali ke laut. Misalnya erupsi 1901 yang meninggalkan jejak berupa pulau sepanjang 1 kilometer dengan lebar 15 meter yang kemudian tenggelam lagi 6 bulan kemudian.
Ledakan raksasa pada 1452-1453 menghancurkan pulau Kuwae dan meninggalkan 2 pulau yang lebih kecil bernama Tongoa dan Epi, terpisahkan oleh kaldera seluas 12x 6 kilometer persegi di antara keduanya.
Kaldera itu sering mengalami kegiatan vulkanik. Erupsi tersebut melepaskan sekitar 39 kilometer kubik abu dan pulau itu amblas hingga 1.100 meter di bawah permukaan laut.
Letusan itu sekaligus menjadi salah satu kejadian vulkanik terbesar dalam 10 ribu tahun terakhir, enam kali lebih dahsyat daripada letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991.
Erupsi tersebut berkaitan dengan denyut ke-2 Abad Es Kecil dan dirasakan di seluruh dunia sebagai pendinginan iklim. Hal tersebut ditengarai melalui tampilan cincin-cincin batang pohon, inti es Tanah Hijau (Greenland), dan sejumlah kegagalan panen yang tercatat dalam sejarah.
Para penulis sejarah pada masa Dinasti Ming menyebutkan tanggal kejadian secara khusus dengan menuliskan "salju tiada henti yang merusak panen."
Beberapa saat kemudian, ketika abu menghalangi sinar matahari, mereka menuliskan adanya "Salju setinggi beberapa kaki yang jatuh di 6 provinsi. Puluhan ribu orang beku hingga tewas."
Sesudah itu ada lagi acuan kepada masa yang panjang adanya hujan salju, laut membeku, dan warga yang meninggal karena kelaparan dan kedinginan. Tapi, korban terbesar adalah jatuhnya Kekaisaran Bizantium dengan dicaploknya Konstantinopel.
Di bawah pimpinan Sultan Mehmed II, pihak Turki Ottoman menyerbu Konstantinopel pada 5 April 1453 dan mendudukinya pada 29 Mei 1453.
Catatan sejarah kota pada masa itu menyebutkan adanya dampak parah letusan gunung berapi, termasuk kabut tebal pada bulan Mei yang tidak pernah ada sebelumnya, hujan deras yang ganas, langit merah darah di siang hari, dan banjir bertubi-tubi.
Orang-orang di luar kota menduga kota itu sedang terbakar. Menurut pada ahli sejarah, "Kobaran api menyelimuti Hagia Sophia dan petir-petirnya bisa terlihat dari tembok-tembok, tampak berkilauan dari jauh di pinggiran kota di belakang perkemahan Turki (di barat)."
Tapi itu sebenarnya pantulan dari awan debu berwarna merah pekat yang ada di atmosfer. Pengepungan mungkin saja ditunda kalau panennya berhasil sebelum kedatangan pasukan penyerbu.
Kegagalan panen akibat debu vulkanik menyebabkan pengepungan hanya berlangsung selama beberapa minggu, tidak perlu berbulan-bulan. Hal itu menyebabkan kehancuran Kekaisaran Bizantium sehingga memungkinkan Kesultanan Ottoman berkembang.
Hanya karena suatu pulau yang sekarang sudah lenyap di Samudra Pasifik itu, maka para pelarian dari Konstantinopel – termasuk para penulis, musisi, ahli astronomi, arsitek, seniman, filsuf, ilmuwan, politisi, ahli teologi dan lainnya – dibawa ke Eropa Barat untuk melanggengkan dan menularkan pengetahuan dari peradaban mereka.
3. Gempa Bumi Lisbon (1755)
Gempa bumi dan tsunami Lisbon adalah salah satu gempa terbesar yang terjadi, diduga pada magnitudo 9 menurut skala magnitudo gempa – hampir setara dengan gempa dan tsunami Samudra Hindia pada 2004.
Gempa pada 1755 bisa dibilang telah membinasakan Lisbon dengan korban jiwa sekitar 100 ribu orang. Muncullah rekahan-rekahan selebar 5 meter di kota. Para penyintas (survivor) segera bergegas ke kawasan pelabuhan yang relatif terbuka, tapi mendadak datang tsunami setinggi 30 meter.
4. Letusan Laki (1783–1784)
Patahan volkano Laki sepanjang 25 kilometer di Islandia memiliki 130 cerobong vulkanik. Letusan terjadi di patahan itu pada 1783 – 1784 dengan kekuatan 6 VEI.
Kira-kira 14 kilometer kubik lava basal dimuntahkan saat itu, bersama dengan awan beracun terbuat dari campuran sulfur dioksida dan asam hidroklorik yang menyebar ke seluruh dunia.
Awan itu menyebabkan hujan asam di sebagian besar Eropa dan debu di seluruh dunia yang menghalangi sinar matahari sehingga menurunkan suhu secara global. Akibatnya, kelaparan, penyakit, dan maut hadir di mana-mana. Bencana itu terjadi hanya beberapa tahun setelah bencana di Lisbon.
Dampak di Islandia adalah meninggalnya 25 persen populasi di sana, 50 persen ternak, dan hampir semua panen tahun itu. Aliran tiang lava dari letusan itu bisa mencapai ketinggian 1.400 meter ke udara – sekitar 5 kali tiang lava Hawaii.
Selain itu, letusan juga melepaskan sekitar 8 juta ton hidrogen fluorida dan 120 juta ton sulfur dioksida ke seluruh Eropa. Semburan itu kemudian dijuluki "kabut Laki".
Gas dan debu itu memperlemah monsoon di Afrika dan India serta membawa kematian seperenam penduduk Mesir pada masa kelaparan 1784. Panen di seluruh Eropa mengalami kegagalan. Sulfur dioksida di udara juga menyebabkan penyakit pernafasan yang membawa kematian sekitar 23 ribu orang di Inggris.
Di Amerika, musim dingin paling ganas dan paling panjang yang pernah tercatat telah menunda penghentian Perang Revolusi Amerika karena para anggota Kongres terlambat datang ke Annapolis untuk memberikan suara pada Perjanjian Paris.
Kelaparan dan penyakit menyebar di seluruh Eropa, dan pemulihannya baru kira-kira satu dekade kemudian. Ketika diberi tahu bahwa rakyatnya kelaparan dan tak punya makanan, Marie Antoinette diduga melontarkan ucapannya yang terkenal, "Qu'ils mangent de la brioche" -- biarkan mereka makan kue.
Prancis sudah babak belur setelah Perang Tujuh Tahun. Kemudian, Perang Saudara Amerika menyebabkan mereka jatuh dalam utang yang dalam. Bangkitlah keresahan sosial dan prakarsa pajak yang tidak populer.
Kelaparan akibat letusan Laki, berbarengan dengan pajak yang tidak populer dan dampak Pencerahan, menjadi pendorong terjadinya Revolusi Prancis.
Salah satu kejadian penting dalam sejarah manusia sebagian disebabkan oleh bencana vulkanik di Islandia. Bencana itu memicu berkurangnya monarki absolut secara global dan menggantinya dengan republik dan demokrasi liberal.
Hal itu juga menjadi inspirasi bagi gagasan-gagasan liberal dan radikal yang mengakibatkan tekanan kepada sistem feodal, emansipasi perorangan, dan pembagian lebih besar terhadap tanah, penghapusan hak istimewa keturunan ningrat, dan lahirnya kesetaraan.
Pada akhirnya, semua itu mengarah kepada penyebaran liberalisme, radikalisme, nasionalisme, sosialisme, kapitalisme, feminisme, dan sekularisme.
5. Letusan Gunung Tambora (1815)
Letusan Gunung Tambora pada 1815 merupakan letusan terbesar dalam sejarah modern, dengan VEI tingkat 7. Dampak dahsyatnya terasa ke seluruh dunia, misalnya keberadaan "tahun tanpa musim panas."
Letusan itu juga menjadi denyut terakhir dalam Zaman Es Kecil, yang ditandai dengan peningkatan vulkanisme, pengurangan kegiatan matahari, dan berkurangnya interaksi manusia dengan iklim.
Ada 3 denyut penting selama masa itu. Letusan Kuwae menjadi yang ke-2 hingga menambah ketidakstabilan iklim. Dari 1808 hingga 1815, ada beberapa letusan vulkanik dan letusan Tambora menjadi yang terkuat.
Ada suatu letusan misterius berkekuatan 6 VEI pada 1808 – 1809, lalu La Soufriere (Saint Vincent) pada 1812, letusan Gunung Awu (Indonesia) pada 1812, letusan Suwanosejima (Jepang) pada 1813 dan letusan Gunung Mayon (Filipina) pada 1814. Dengan demikian, dekade 1810-an menjadi yang terdingin selama 500 tahun terakhir.
Awan abu semburan Tambora menghalangi radiasi matahari sehingga iklim membeku dan menggagalkan panen sebagaimana dicatat di Eropal Amerika, dan China.
Harga-harga meningkat 4 kali lipat dari tahun sebelumnya sehingga menimbulkan kerusuhan dan kekacauan masyarakat di seluruh Eropa. Badai, banjir, dan kebekuan yang tidak normal juga melanda banyak bagian dunia.
Dampaknya sangat terasa di Eropa, sehingga melahirkan banyak kebijakan dan hak kemasyarakatan sesudahnya. Beberapa tahun sesudah bencana, terjadi peningkatan luar biasa penyakit tifus dan kolera di Eropa dan India.
Secara budaya, lukisan-lukisan J. M. W. Turner menggambarkan langit yang merah sebagai pemandangan luar biasa terbenamnya matahari. Kurangnya pakan ternak mungkin memicu Karl Drais menciptakan velocipede yang menjadi cikal bakal alat angkutan mekanis.
Letusan-letusan itu juga mungkin telah memicu pemukiman di jantung daratan Amerika. Para pemukim pindah dari New England karena panen yang gagal. Mungkin juga ini menjadi penyebab awal gerakan anti-perbudakan.
Pupuk mineral diciptakan sebagai akibat langsung kelaparan di seluruh dunia. Justus Freiherr von Liebig, seorang ahli kimia berkebangsaan Jerman, mengingat masa kecilnya yang dilanda kelaparan. Ia kemudian dikenal sebagai "bapak pupuk modern." (*)