
POPNEWS.ID – Pemerinta Kota (Pemkot) Samarinda mulai menggeser fokus penanggulangan banjir dan bencana hidrometeorologi dari pendekatan teknis ke penguatan kebijakan lingkungan dan pengawasan di kawasan hulu.
Pemkot Samarinda mengambil langkah ini setelah menilai bahwa normalisasi drainase, pengerukan sungai, dan pengangkatan sedimentasi belum mampu menurunkan risiko banjir secara signifikan jika kerusakan lingkungan di daerah resapan air terus berlanjut.
Arah kebijakan tersebut mengemuka dalam Rembug Pentahelix Penanggulangan Bencana Hidrometeorologi yang mempertemukan unsur pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media. Forum ini tidak hanya membahas ancaman bencana yang kian meningkat, tetapi juga mengurai faktor struktural yang selama ini membuat penanganan banjir di Samarinda berjalan tidak berkelanjutan.
Kebijakan Lingkungan Jadi Fondasi Mitigasi
Wali Kota Samarinda Andi Harun menegaskan bahwa mitigasi bencana harus dibangun di atas kebijakan yang berbasis data dan menyentuh akar persoalan.
Ia menilai, selama kebijakan pengendalian banjir tidak diarahkan pada pemulihan lingkungan dan pengendalian aktivitas di kawasan hulu, upaya teknis di wilayah hilir hanya akan bersifat sementara.
“Kalau tidak berbasis data, tidak akan pernah tepat sasaran. Kita bisa menghabiskan banyak anggaran untuk drainase atau sedimentasi, tapi hasilnya akan menguap jika akar masalahnya tidak disentuh,” ujar Andi Harun.
Pemerintah Kota Samarinda mencatat bahwa sebagian besar genangan yang terjadi di wilayah perkotaan disebabkan oleh limpasan air dari kawasan hulu yang mengalami degradasi. Wilayah Samarinda Utara menjadi salah satu kawasan yang paling terdampak, meski persoalan serupa juga terjadi hampir di seluruh kecamatan.
Limpasan Air Hulu Picu Genangan Meluas
Andi Harun menjelaskan bahwa perubahan fungsi lahan di kawasan hulu menyebabkan air hujan tidak lagi tertahan secara alami. Akibatnya, air mengalir dengan volume besar ke kawasan permukiman di wilayah hilir dan memperparah genangan yang sudah ada.
“Genangan itu mayoritas kiriman dari hulu. Selama hulunya rusak, air akan terus datang, berapa pun kita perbaiki drainase di bawah,” katanya.
Ia menegaskan bahwa kebijakan tata ruang memegang peranan penting dalam memutus mata rantai kerusakan lingkungan. Kawasan daerah aliran sungai (DAS), wilayah sungai, dan lereng curam, menurutnya, tidak boleh menjadi lokasi aktivitas pengupasan lahan maupun kegiatan berisiko tinggi.
Tata Ruang dan Perizinan Harus Tegas
Dalam forum tersebut, Andi Harun menyoroti praktik perizinan yang tidak mengacu pada rencana tata ruang sebagai salah satu pemicu utama degradasi lingkungan. Ia menilai pemerintah daerah harus berani bersikap tegas dengan menolak izin usaha yang berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang.
“Menambang itu tidak dilarang. Tapi menambang di lereng curam atau di sekitar DAS pasti merusak. Di situlah kebijakan harus tegas,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kebijakan lingkungan harus menjadi prioritas daripada kepentingan jangka pendek. Pemerintah, menurutnya, memiliki tanggung jawab menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan daya dukung lingkungan.
Dunia Usaha Diminta Jalankan Reklamasi Substansial
Rembug Pentahelix juga mendorong dunia usaha, khususnya sektor pertambangan dan perkebunan, untuk menjalankan kewajiban reklamasi dan pascatambang secara substansial. Andi Harun menilai bahwa selama ini reklamasi sering dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban administratif tanpa evaluasi keberlanjutan.
“Bukan sekadar tanam pohon lalu difoto dan ditinggal. Harus dipastikan pohon itu hidup, dirawat, dan dievaluasi secara berkala. Kalau tidak, lahan tetap terbuka dan risiko banjir tidak berkurang,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa regulasi terkait reklamasi dan good mining practice sebenarnya sudah sangat lengkap, mulai dari peraturan menteri hingga peraturan daerah. Namun, efektivitas aturan tersebut sangat bergantung pada pelaksanaan dan pengawasan di lapangan.
Lemahnya Pengawasan Jadi Catatan Kritis
Salah satu catatan penting dalam Rembug Pentahelix adalah lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan aturan lingkungan. Keberadaan inspektur tambang dan lembaga pengawas dinilai belum sepenuhnya optimal dalam memastikan kewajiban perusahaan dijalankan secara konsisten.
“Kalau aturan ada tapi tidak dijalankan, berarti masalahnya ada pada pengawasan. Ini menyangkut kejujuran dan integritas sumber daya manusia,” ujar Andi Harun.
Persoalan tersebut tidak untuk saling menyalahkan, melainkan untuk membangun komitmen bersama agar pengawasan berjalan lebih kuat dan berkelanjutan.
Penanganan Reaktif Dinilai Tidak Efektif
Forum Pentahelix juga mengkritisi pola penanganan bencana yang masih bersifat reaktif. Selama ini, respons pemerintah dan masyarakat cenderung menguat saat banjir terjadi, namun melemah setelah situasi kembali normal.
“Pola ini harus diubah. Kita tidak bisa terus menunggu bencana lalu bertindak. Mitigasi harus menjadi kerja rutin, bukan respons sesaat,” tegas Andi Harun.
Melalui kesepakatan bersama, seluruh unsur Pentahelix menyatakan komitmen memperkuat edukasi publik, penegakan hukum lingkungan, pemulihan lahan kritis, serta transparansi informasi kebencanaan.
Pemerintah Kota Samarinda memastikan hasil Rembug Pentahelix akan menjadi dasar penguatan kebijakan mitigasi ke depan, dengan fokus pada pembenahan kawasan hulu, konsistensi pengawasan, dan keterlibatan aktif seluruh pihak.
“Kalau kita punya sense of crisis dan bekerja jujur, perubahan itu mungkin. Tidak instan, tapi harus dimulai sekarang,” pungkas Andi Harun.
(tim redaksi)
