POPNEWS.ID – Presiden Prabowo Subianto secara resmi menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Kebijakan ini diteken pada 10 Oktober 2025 dan diharapkan menjadi pijakan baru dalam transformasi pengelolaan sampah nasional.
Dalam konsideran beleid tersebut, pemerintah menyatakan bahwa timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2023 menghasilkan 56,63 juta ton per tahun, namun baru 39,01 persen yang berhasil dikelola melalui sistem resmi.
Sisanya, sekitar 60,99 persen, masih dibuang secara terbuka (open dumping).
Menurut catatan pemerintah, kondisi tersebut telah memicu pencemaran lingkungan dan potensi gangguan kesehatan masyarakat yang signifikan.
Presiden Prabowo melalui Perpres ini ingin mendorong pengelolaan sampah lebih masif dan cepat, khususnya dengan memanfaatkan teknologi hijau agar sampah tidak lagi sekadar beban lingkungan, melainkan aset energi.
Perpres 109/2025 menetapkan bahwa proyek Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) hanya akan dilaksanakan di wilayah kabupaten/kota yang memenuhi sejumlah kriteria, antara lain:
1. Volume sampah minimal 1.000 ton per hari selama operasi.
2. Tersedianya alokasi anggaran APBD untuk pengumpulan dan pengangkutan sampah dari titik sumber ke lokasi PSEL.
3. Komitmen aspek teknis dan regulasi lainnya agar operasional berjalan efektif.
Selain itu, dalam pasal khusus, PT PLN (Persero) ditunjuk sebagai pembeli listrik yang dihasilkan PSEL.
Untuk bagian pengelolaan sampah selain listrik, Perpres juga mengatur PSE (Pengolahan Sampah menjadi Energi non-listrik), yang mencakup produksi biomassa, biogas, bahan bakar minyak terbarukan, dan produk ikutan lainnya.
Produk-produk ini dapat dimanfaatkan sendiri atau dijual ke masyarakat atau industri.
Pemerintah juga menetapkan bahwa entitas yang dilibatkan dalam pelaksanaan proyek ini adalah BPI Danantara, holding investasi, BUMN, dan anak usaha BUMN, yang akan mengelola pemilihan Badan Usaha Pengelola PSEL (BUPP) serta investasi proyek.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, menyambut langkah ini sebagai komitmen kuat Presiden Prabowo untuk menyelesaikan persoalan sampah nasional secara inovatif dan berkelanjutan.
Menurut Hanif, Perpres ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya mengakui persoalan, tetapi juga ingin melakukan tindakan konkret.
Sementara itu, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi mengungkapkan bahwa melalui Perpres 109/2025, pengembangan sektor waste-to-energy kini mendapat payung hukum yang lebih jelas, termasuk penggunaan sistem Online Single Submission (OSS) untuk mempermudah perizinan proyek.
Eniya menjelaskan bahwa proyek ini akan melibatkan tiga komponen utama: listrik, bioenergi, dan pirolisis untuk BBM terbarukan, yang akan dimasukkan ke dalam klasifikasi usaha (KBLI) khusus.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga telah memberi paraf pada rancangan Perpres terkait, sebagai bagian dari langkah percepatan kebijakan waste-to-energy.
Beberapa pengamat energi menyebut terbitnya Perpres 109/2025 sebagai titik awal menariknya investasi di sektor energi bersih.
Misalnya, mantan Direktur Utama Geo Dipa Energi, Riki Ibrahim, menilai bahwa kebijakan harga listrik US$ 0,20/kWh bisa menjadi insentif menarik bagi investor domestik dan asing di industri waste-to-energy.
Regulasi ini juga menjadi jawaban atas kebutuhan percepatan transisi energi bersih di Indonesia, di mana banyak daerah perkotaan masih bergulat dengan persoalan sampah menumpuk.
Dengan dasar hukum yang lebih kokoh, proyek-proyek PSEL dapat dijalankan dengan kejelasan kepastian investasi.
Namun, tantangan pelaksanaannya juga besar.
Pemerintah daerah (pemda) memiliki peran kunci dalam pengelolaan sampah (pengumpulan, pengangkutan, alokasi anggaran).
Jika pemda tidak siap atau tidak memiliki kapasitas teknis, proyek dapat gagal dijalankan.
Aspek teknologi dan lingkungan juga menjadi sorotan.
Proyek PSEL harus memenuhi standar Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan menggunakan teknologi pengendalian polusi agar emisi gas buang tidak menjadi sumber pencemaran baru.
Selain itu, ketersediaan sampah yang konsisten dan sistem pemilahan di sumber merupakan aspek kritis agar proyek tidak tergantung pada sampah kasar yang sulit diolah.
Apabila pemilahan awal tidak baik, maka efisiensi dan kualitas energi yang dihasilkan bisa menurun.
Dengan penetapan Perpres 109/2025, Indonesia memasuki era baru dalam pengelolaan sampah: bukan hanya sebagai beban lingkungan, melainkan sebagai sumber energi yang potensial.
Regulasi baru ini membawa harapan bahwa persoalan sampah dapat tertangani lebih sistematis, sambil memperkuat ketahanan energi nasional.
Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, kesiapan teknis, kesiapan regulasi, serta minat investor.
Apabila semua elemen ini berjalan seiring, Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara berkembang lain dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan. (*)