POPNEWS.ID – Wakil Wali Kota Samarinda, Saefuddin Zuhri, menegaskan pentingnya menjaga dan menghormati nilai-nilai budaya lokal di tengah arus modernisasi.
Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber dalam Dialog Budaya “Sadak Taka 2025: Suara Seni dari Kalimantan Timur”, yang digelar oleh Tirtonegoro Foundation di Taman Cerdas PKK Edu Park, Jalan S. Parman, Sabtu (11/10/2025) malam.
Dalam sambutannya, Saefuddin menyampaikan pesan bijak yang sarat makna, “Di mana bumi dipijak, Disitu langit dijunjung.”
Ia mengingatkan bahwa siapa pun yang datang dan tinggal di Samarinda wajib menghormati adat istiadat dan sopan santun yang berlaku.
“Kita harus mengerti, di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Teman-teman dari berbagai daerah harus menghormati budaya yang ada di Samarinda,” ujarnya.
Ia mencontohkan paguyuban Sijaka (Silaturahmi Keluarga Jawa Kalimantan) sebagai bentuk nyata akulturasi budaya di Kota Tepian.
Menurutnya, Sijaka mencerminkan keharmonisan antara berbagai suku, Jawa, Kutai, Banjar, Dayak, dan lainnya yang hidup berdampingan di Samarinda.
Saefuddin juga menyoroti tantangan budaya di era digital.
Ia mengingatkan bahwa pesatnya perkembangan teknologi seringkali menggerus nilai-nilai etika dan adab yang merupakan warisan leluhur.
“Jangan sampai karena era digital, adab kita luntur. Termasuk menjaga tempat umum seperti taman. Kalau rumput diinjak dan fasilitas rusak, itu juga bagian dari hilangnya rasa hormat terhadap lingkungan, padahal itu bagian dari kebudayaan kita,” tegasnya.
Pemerintah Kota Samarinda, lanjutnya, terus berkomitmen untuk menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya lokal.
Salah satunya melalui Festival Budaya Dayak Kenyah di Kelurahan Pampang, yang ditargetkan naik kelas menjadi ajang bertaraf internasional tahun depan.
Selain itu, Saefuddin juga menyebutkan upaya revitalisasi kawasan Citra niaga, yang kini tampil lebih tertata sebagai pusat kegiatan budaya dan ekonomi kreatif.
“Citra niaga ini dulu pernah meraih penghargaan Aga Khan Award for Architecture. Pemerintah ingin menghidupkan kembali semangat itu, agar kawasan ini menjadi ruang yang memuliakan budaya, seni, dan masyarakatnya,” paparnya.
Saefuddin menegaskan bahwa pelestarian budaya tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah.
Perlu kolaborasi dan keterlibatan aktif masyarakat agar nilai-nilai lokal tetap lestari.
“Tidak mungkin pemerintah bekerja sendiri. Kalau masyarakat ikut bergerak, Insyaallah budaya kita akan terus lestari dan tidak tergilas arus modernisasi,” ungkapnya.
Dengan nada nostalgia, ia juga menyinggung permainan tradisional seperti gasing, igrang, dan patelele, yang dulu menjadi bagian dari kehidupan anak-anak Samarinda.
“Sekarang anak-anak lebih banyak main HP. Padahal pelepah pisang dan bambu kecil dulu bisa jadi mainan seru. Itu tradisi yang harus kita hidupkan lagi,” katanya sambil tersenyum.
Di akhir acara, Saefuddin menyampaikan apresiasi kepada Tirtonegoro Foundation atas terselenggaranya dialog budaya yang dinilainya mampu membangkitkan semangat pelestarian seni dan adat lokal.
“Saya sangat berterima kasih. Kegiatan seperti ini jangan berhenti di sini. Pemerintah Kota Samarinda siap mendampingi dan berkolaborasi untuk melestarikan adat dan adab yang menjadi jati diri kota kita,” pungkasnya.
Acara ini juga dihadiri oleh Bayu Cahyo Adi dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah (BPKW) XIV, serta berbagai pemerhati seni dan budaya dari seluruh Kalimantan Timur. (*)