Nasional

Biaya Triliunan dan Gesekan Sosial di Pilkada Langsung, Mahrus Ali Minta Evaluasi Jalur Demokrasi Lebih Bijak

POPNEWS.ID – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung dinilai sering memicu perpecahan di masyarakat sekaligus membebani keuangan negara. Pemerhati sosial budaya Mahrus Ali mengatakan, gesekan yang terjadi tak hanya di ruang publik, tetapi juga merembet ke hubungan persaudaraan.



“Pilkada langsung, di banyak tempat, telah melahirkan panas yang membelah kampung, bahkan memecah keluarga. Persahabatan retak karena beda pilihan, dan persaudaraan renggang hanya demi warna spanduk,” kata Mahrus Ali dalam tulisannya ‘Mencari Jalan Demokrasi yang Lebih Bijak Pemilihan Kepala Daerah’.

Menurutnya, konflik horizontal yang lahir dari Pilkada langsung dapat diminimalkan jika mekanisme pemilihan diubah. Ia menawarkan sistem di mana gubernur ditunjuk presiden, sedangkan bupati/wali kota dipilih DPRD melalui sidang terbuka dan transparan.

“Dengan mekanisme ini, gelombang konflik bisa lebih diredam. Persaingan tetap ada, tapi tidak sampai memecah sawah menjadi dua atau memutus jalan setapak menuju rumah tetangga,” tegasnya.

Selain rawan memecah warga, Pilkada langsung juga menyedot anggaran besar. Berdasarkan publikasi media sosial instagram Kemkeu RI pada tanggal 13 Februari 2024, jumlah anggaran yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 mencapai Rp71,8 T.

 Jumlah ini merupakan alokasi anggaran total yang penggunaannya telah dilaksanakan sejak tahun 2022 hingga 2024 dimana proses atau tahapan pemilu mulai dilaksanakan pada tahun 2022. Ini mencakup pemutakhiran data, logistik, pengamanan, dan operasional penyelenggara pemilu.

“Biaya politik yang menggunung adalah hujan deras yang merendam akar demokrasi. Untuk satu kursi kekuasaan, uang miliaran rupiah harus digelontorkan, baik dari kas negara maupun kantong pribadi calon. Dari sini, lahirlah hutang budi, kontrak diam-diam, dan kepentingan yang bersembunyi di balik senyum manis kampanye,” ungkap Mahrus Ali.

Data Mahkamah Konstitusi mencatat, pada Pilkada 2024 terdapat 314 permohonan itu terbanyak merupakan permohonan sengketa Pilbup dengan total 242 perkara. Sedangkan, sebanyak 23 permohonan sengketa Pilgub serta 49 permohonan sengketa Pilwalkot. Kasus ini menunjukkan potensi gesekan politik di tingkat lokal masih tinggi.

Sejumlah studi juga mengungkap bahwa disinformasi dan polarisasi pasca-Pilkada memperparah ketegangan di masyarakat. Salah satu contoh ekstrem terjadi pada Pilkada Gubernur Kalimantan Utara 2015, ketika kerusuhan pecah di Tanjungselor hingga mengakibatkan pembakaran fasilitas publik dan kendaraan, serta penangkapan sejumlah tokoh politik lokal.

Mahrus Ali menegaskan, usulan perubahan mekanisme Pilkada bukan kemunduran demokrasi, melainkan strategi untuk memelihara kedamaian sosial dan menghemat anggaran negara.

“Evaluasi pilkada langsung adalah upaya membersihkan taman demokrasi dari duri yang tak perlu. Demokrasi bukan sekadar soal siapa yang menaruh kertas di bilik suara, tetapi siapa yang benar-benar menanam dan merawat harapan rakyat. Dengan sistem yang lebih hemat, lebih bersih, dan lebih damai, kita bukan sedang mengurangi demokrasi, tetapi sedang memelihara jiwanya agar ia terus mekar, wangi, dan memberi teduh bagi semua,”pungkasnya.

(Redaksi)

Show More
Back to top button